Jutaan Perempuan Afrika Hadapi Jurang Pendidikan

Pendidikan dasar bagi semua anak di dunia sebelum tahun 2015 merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals), yang ditetapkan PBB tujuh tahun silam. Meskipun kemajuan telah tercatat di banyak negara, fakta menunjukkan masih banyak anak di Afrika yang belum mendapatkan pendidikan yang cukup.

Lihat misalnya Faty Seye, seorang perempuan usia 24 tahun asal Senegal. Faty tak menyelesaikan pendidikan tingkat SLTA, dan sempat sulit mencari pekerjaan, sebelum akhirnya menemukan program pelatihan otomotif oleh sebuah organisasi di Dakar, ibukota Senegal.

“Mereka melatih saya untuk menjadi teknisi mobil. Programnya tanpa biaya, saya lalu mendaftar,” cerita Faty.

Program yang dijalani Faty diselenggarakan oleh organisasi “Case de Jeunes Femmes,” atau “Pondok Perempuan Muda.” Pelatihan berlangsung di sebuah garasi, memberikan peserta kesempatan langsung untuk praktek.

Menurut data UNESCO, di kawasan Afrika sub-Sahara, sekitar 38 juta anak-anak tidak bersekolah. Sebagian besar adalah anak perempuan. Orangtua biasanya lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki, dan menyuruh anak perempuan mengurus rumah.

Ini kebiasaan yang ditentang Carolyn Bartholomew, kepala Koalisi Pendidikan Dasar, sebuah koalisi kelompok pembangunan internasional yang bermarkas di Washington. Carolyn berkampanye memasyaratkan pendidikan bagi anak perempuan.

“Anda akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk pembangunan ekonomi. Anak-anak akan menjadi lebih sehat, tingkat kematian anak berkurang, penyebaran HIV dapat dicegah, dan keluarga menjadi lebih mapan. Ini akan menyebabkan siklus positif. Ibu yang berpendidikan akan cenderung mendidik anak-anak mereka, menimbulkan siklus positif bagi masa depan,” kata Carolyn.

Di Kenya, Afrika Timur, kesulitan pendidikan terutama dialami anak-anak perempuan suku Masai, suku yang terkadang masih berpindah-pindah tempat tinggal. Tradisi suku mewajibkan pernikahan dini, bahkan sunat perempuan. Ini praktek kontroversial yang sering dituduh merupakan bentuk mutilasi kelamin perempuan.

Evelyne Meitiaki (14), termasuk yang beruntung. Ia salah seorang dari 600 lebih pelajar perempuan di sekolah berasrama AIC di sebuah kota kecil di selatan Nairobi.

Evelyne tinggal di AIC sejak usia lima tahun, dibawa oleh dua kakak perempuannya yang dipaksa menjalani sunat. Langkah ini tidak disetujui ayah mereka.

“Ayah saya marah kepada kami. Ia tidak mau berbicara dengan kami. Ia bahkan mau mengutuki kami. Tapi setelah di sini, kami banyak mendapat nasihat dari orang,” kenang Evelyne, yang bercita-cita menjadi pengacara.

Sekolah AIC memiliki Pusat Penyelamatan, yang dapat menampung 75 anak perempuan. Atas dukungan sebuah LSM Kenya, mereka tinggal dan belajar sampai menamatkan SLTA.

Bagi suku Masai, Evelyne dan rekan-rekannya dianggap sebagai pemberontak yang membahayakan gaya hidup tradisional masyarakat.

Tapi nyatanya, tidak semua warga Masai menentang hak perempuan mendapatkan pendidikan. Catherine Korrompoi misalnya, juga berasal dari suku Masai, dan berprofesi sebagai guru. Menurutnya, suku Masai harus berubah jika ingin bertahan.

”Kamilah yang harus menjadi agen perubahan dalam masyarakat ini. Jika anak-anak perempuan (yang kami didik) ini berubah secara positif, itu berarti mereka akan mampu mengubah seluruh komunitas,” tegas Catherine.

Pendapat ini disetujui Carolyn Bartholomew dari Koalisi Pendidikan Dasar, sambil menambahkan sejumlah faktor pendukung: akses ke pendidikan berkualitas, sumber daya dan komitmen dukungan sektor-sektor masyarakat.

“…Dari dalam keluarga—keputusan seorang ayah, walaupun bertentangan dengan kepercayaan masyarakat, untuk mendidik anak-anak perempuannya—sampai pemimpin tingkat nasional yang merancang program pendidikan, sampai para pemimpin negara-negara berkembang yang memiliki dana… untuk mendukung program-program seperti itu,” jelas Carolyn.

Carolyn yakin, masyarakat yang terdidik merupakan kunci keberhasilan Afrika, karena merekalah yang dapat mempromosikan demokrasi dan stabilitas. Pendidikan, menurutnya, merupakan sesuatu yang tak dapat dikompromi.