Ratusan juta orang di Asia-Pasifik belum memiliki akses untuk air bersih dan sanitasi, dan kesenjangan akses tinggi antara warga kaya dan miskin.
MANILA —
Akses air bersih untuk 91 persen penduduk di Asia telah membaik, sebuah pencapaian besar dalam dua dekade terakhir di wilayah terpadat di dunia ini. Namun negara-negara dan warga paling makmur kelihatannya memiliki pasokan air yang lebih baik dan pemerintahan yang lebih siap menghadapi bencana alam.
Penilaian yang dibuat oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam sebuah studi yang diterbitkan Rabu (13/3) ini mengatakan negara-negara di Asia secara tidak proporsial dapat terkena dampak potensial perubahan iklim jika tidak memikirkan bagaimana mengelola sumber daya air mereka. Hampir setengah kematian di wilayah ini disebabkan penyakit terkait air dan 90 persen penduduk yang terimbas bencana-bencana dari 1980 sampai 2006 tinggal di Asia, menurut laporan tersebut.
Negara-negara berkembang seperti Australia, Singapura, Selandia Baru dan Jepang ada di tempat-tempat teratas daftar negara-negara yang paling siap menghadapi banjir, kekeringan, angin topan, badai dan tanah longsor, sementara Nepal, Laos, Kamboja, Tajikistan, Vanuatu di Pasifik dan Bangladesh, merupakan yang paling tidak siap.
Tidak ada negara di wilayah Asia-Pasifik yang menjadi model untuk pengelolaan layanan dan sumber daya air, menurut lembaga peminjaman dan pembangunan yang berbasis di Manila, yang bertujuan mengentaskan kemiskinan itu. Sebanyak 38 negara berkembang memiliki tingkat keamanan air yang rendah atau baru mulai membaik, sementara hanya 11 yang telah mengembangkan sistem-sistem infrastruktur dan pengelolaan.
“Meski wilayah Asia-Pasifik telah menjadi kekuatan ekonomi besar, hal yang mengkhawatirkan adalah tidak ada negara berkembang di wilayah ini yang dapat dianggap aman terkait isu air,” ujar Wakil Presiden ADB Bindu Lohani.
Hampir 80 persen sungai-sungai di Asia memiliki kesehatan yang buruk. Populasi perkotaan meningkat, demikian juga dengan polusi, sementara kebutuhan makanan dan energi memberi tekanan lebih pada sumber daya air.
Kecuali kebutuhan yang mendesak ini diseimbangkan, “keamanan air masih akan menjadi masalah, merusak hasil pembangunan dan kualitas hidup miliaran orang di wilayah ini, terutama warga miskin,” ujar Ravi Narayanan, wakil ketua dewan pengelola Forum Air Asia-Pasifik.
Kabar baiknya, proporsi populasi wilayah ini dengan akses terhadap air minum telah meningkat dari 74 persen menjadi 91 persen antara 1990 dan 2010. Kemajuan telah dicapai di semua sub-wilayah, kecuali di Pasifik, yang memiliki tingkat akses hanya 54 persen.
Namun, akses terhadap air keran yang dapat diandalkan merupakan cerita yang lain lagi. Meski lebih dari 900 juta orang mendapat akses terhadap air pipa, lebih dari 65 persen populasi di wilayah ini tidak memiliki apa yang seharusnya merupakan pasokan rumah tangga yang aman.
Sebagian besar kota di Asia, yang merupakan setengah dari 20 megakota di dunia, memiliki infrastruktur besar-besaran untuk pemeliharaan dan pasokan air domestik, meski sistem perpipaan untuk rumah tangga seringkali macet dan layanan air minum tidak dirawat sepanjang waktu pada saat didistribusikan, menurut ADB.
Sebagai contoh, beberapa kota di China dan Korea Selatan menyediakan layanan air 24 jam, namun di banyak kota lain, air keran hanya tersedia pada jam-jam tertentu. Di Jakarta, air hanya tersedia selama sekitar 18 jam sehari, dan di Chennai, India, air tersedia selama rata-rata hanya empat jam per hari.
Selain itu ada masalah kesehatan. Sekitar 88 persen dari semua kasus diare diakibatkan oleh kurangnya akses yang memadai untuk air dan sanitasi.
Meski persentase warga dengan akses terhadap sanitasi yang membaik meningkat dari 36 persen pada 1990 menjadi 58 persen pada 2010, 1,74 miliar orang di Asia dan Pasifik masih tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang baik. Lebih dari 792 juta orang masih harus buang air di tempat terbuka, dan lebih dari 631 juta dari mereka tinggal di pedesaan Asia Selatan.
Asia Tenggara menunjukkan kemajuan yang pesat, meningkatkan cakupan sebesar 23 persen antara 1990 dan 2010, sementara Asia Timur 35 persen.
Kesenjangan antara warga kaya dan miskin merupakan faktor besar terkait akses dan pengelolaan air, menurut laporan tersebut. Di Asia Selatan, dengan Bangladesh di tempat teratas, diperkirakan sampai 96 persen warga kaya di pedesaan memiliki akses terhadap sanitasi, dibandingkan 2-4 persen untuk warga miskin pedesaan. Hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam memperbaiki akses atas sanitasi di kepulauan Pasifik, ujar ADB.
“Di Asia dan Pasifik, korelasi antara pendapatan dan akses sangat nyata. Orang kaya memiliki akses yang lebih baik dibandingkan orang miskin untuk pasokan air dan sanitasi. Selain itu, kesenjangan meningkat, terutama di kota-kota kecil yang banyak tumbuh di wilayah ini,” ujar ADB.
Perbedaan antara komunitas kaya dan miskin mencapai 96 persen di Nepal dan 92 persen di Kamboja, India dan Pakistan, menurut laporan tersebut.
Di India dan Filipina, sebuah studi lain Komisi PBB untuk masalah ekonomi dan sosial di Asia dan Pasifik menemukan bahwa fasilitas publik untuk menyediakan layanan air dan sanitasi “kurang memiliki kapasitas dalam segala aspek kelestarian, termasuk fungsi, pembiayaan dan daya tanggap yang efektif.” (AP/ Hrvoje Hranjski)
Penilaian yang dibuat oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam sebuah studi yang diterbitkan Rabu (13/3) ini mengatakan negara-negara di Asia secara tidak proporsial dapat terkena dampak potensial perubahan iklim jika tidak memikirkan bagaimana mengelola sumber daya air mereka. Hampir setengah kematian di wilayah ini disebabkan penyakit terkait air dan 90 persen penduduk yang terimbas bencana-bencana dari 1980 sampai 2006 tinggal di Asia, menurut laporan tersebut.
Negara-negara berkembang seperti Australia, Singapura, Selandia Baru dan Jepang ada di tempat-tempat teratas daftar negara-negara yang paling siap menghadapi banjir, kekeringan, angin topan, badai dan tanah longsor, sementara Nepal, Laos, Kamboja, Tajikistan, Vanuatu di Pasifik dan Bangladesh, merupakan yang paling tidak siap.
Tidak ada negara di wilayah Asia-Pasifik yang menjadi model untuk pengelolaan layanan dan sumber daya air, menurut lembaga peminjaman dan pembangunan yang berbasis di Manila, yang bertujuan mengentaskan kemiskinan itu. Sebanyak 38 negara berkembang memiliki tingkat keamanan air yang rendah atau baru mulai membaik, sementara hanya 11 yang telah mengembangkan sistem-sistem infrastruktur dan pengelolaan.
“Meski wilayah Asia-Pasifik telah menjadi kekuatan ekonomi besar, hal yang mengkhawatirkan adalah tidak ada negara berkembang di wilayah ini yang dapat dianggap aman terkait isu air,” ujar Wakil Presiden ADB Bindu Lohani.
Hampir 80 persen sungai-sungai di Asia memiliki kesehatan yang buruk. Populasi perkotaan meningkat, demikian juga dengan polusi, sementara kebutuhan makanan dan energi memberi tekanan lebih pada sumber daya air.
Kecuali kebutuhan yang mendesak ini diseimbangkan, “keamanan air masih akan menjadi masalah, merusak hasil pembangunan dan kualitas hidup miliaran orang di wilayah ini, terutama warga miskin,” ujar Ravi Narayanan, wakil ketua dewan pengelola Forum Air Asia-Pasifik.
Kabar baiknya, proporsi populasi wilayah ini dengan akses terhadap air minum telah meningkat dari 74 persen menjadi 91 persen antara 1990 dan 2010. Kemajuan telah dicapai di semua sub-wilayah, kecuali di Pasifik, yang memiliki tingkat akses hanya 54 persen.
Namun, akses terhadap air keran yang dapat diandalkan merupakan cerita yang lain lagi. Meski lebih dari 900 juta orang mendapat akses terhadap air pipa, lebih dari 65 persen populasi di wilayah ini tidak memiliki apa yang seharusnya merupakan pasokan rumah tangga yang aman.
Sebagian besar kota di Asia, yang merupakan setengah dari 20 megakota di dunia, memiliki infrastruktur besar-besaran untuk pemeliharaan dan pasokan air domestik, meski sistem perpipaan untuk rumah tangga seringkali macet dan layanan air minum tidak dirawat sepanjang waktu pada saat didistribusikan, menurut ADB.
Sebagai contoh, beberapa kota di China dan Korea Selatan menyediakan layanan air 24 jam, namun di banyak kota lain, air keran hanya tersedia pada jam-jam tertentu. Di Jakarta, air hanya tersedia selama sekitar 18 jam sehari, dan di Chennai, India, air tersedia selama rata-rata hanya empat jam per hari.
Selain itu ada masalah kesehatan. Sekitar 88 persen dari semua kasus diare diakibatkan oleh kurangnya akses yang memadai untuk air dan sanitasi.
Meski persentase warga dengan akses terhadap sanitasi yang membaik meningkat dari 36 persen pada 1990 menjadi 58 persen pada 2010, 1,74 miliar orang di Asia dan Pasifik masih tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang baik. Lebih dari 792 juta orang masih harus buang air di tempat terbuka, dan lebih dari 631 juta dari mereka tinggal di pedesaan Asia Selatan.
Asia Tenggara menunjukkan kemajuan yang pesat, meningkatkan cakupan sebesar 23 persen antara 1990 dan 2010, sementara Asia Timur 35 persen.
Kesenjangan antara warga kaya dan miskin merupakan faktor besar terkait akses dan pengelolaan air, menurut laporan tersebut. Di Asia Selatan, dengan Bangladesh di tempat teratas, diperkirakan sampai 96 persen warga kaya di pedesaan memiliki akses terhadap sanitasi, dibandingkan 2-4 persen untuk warga miskin pedesaan. Hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam memperbaiki akses atas sanitasi di kepulauan Pasifik, ujar ADB.
“Di Asia dan Pasifik, korelasi antara pendapatan dan akses sangat nyata. Orang kaya memiliki akses yang lebih baik dibandingkan orang miskin untuk pasokan air dan sanitasi. Selain itu, kesenjangan meningkat, terutama di kota-kota kecil yang banyak tumbuh di wilayah ini,” ujar ADB.
Perbedaan antara komunitas kaya dan miskin mencapai 96 persen di Nepal dan 92 persen di Kamboja, India dan Pakistan, menurut laporan tersebut.
Di India dan Filipina, sebuah studi lain Komisi PBB untuk masalah ekonomi dan sosial di Asia dan Pasifik menemukan bahwa fasilitas publik untuk menyediakan layanan air dan sanitasi “kurang memiliki kapasitas dalam segala aspek kelestarian, termasuk fungsi, pembiayaan dan daya tanggap yang efektif.” (AP/ Hrvoje Hranjski)