Afrika Selatan Peringati Pembantaian 34 Penambang Marikana

Warga menghadiri kebaktian untuk mengenang para penambang yang tewas dalam aksi mogok menuntut kenaikan upah setahun yang lalu di Marikana, Afrika Selatan (16/8).

Afrika Selatan melangsungkan upacara kebaktian untuk mengenang 34 buruh tambang yang ditembak setahun lalu oleh polisi di sebuah tambang platina di Afrika Selatan.
Setahun lalu para penambang berkumpul di bukit yang menghadap tambang platinum Lonmin di Marikana, Afrika Selatan. Mereka mengacung-acungkan tongkat dan parang dan berteriak, bernyanyi dan menarikan Toyi-Toyi, yakni tarian protes.

Pemogokan ilegal yang mereka lakukan itu memuncak dalam salah satu aksi kebrutalan terburuk polisi sejak berakhirnya apartheid. Polisi menembak mati 34 penambang tanggal 16 Agustus 2012 setelah para penambang yang didukung oleh serikat buruh kecil tapi ambisius, melancarkan pemogokan untuk menuntut kenaikan upah.

Setahun kemudian, tidak ada orang yang dipenjara atas penembakan itu dan penyelidikan terus tersendat-sendat. Banyak pekerja mengatakan kepada VOA mereka belum mendapat kenaikan gaji dan perbaikan dalam kondisi hidup yang dijanjikan. Lebih buruk lagi, masyarakat selama ini diteror oleh belasan pembunuhan yang tampaknya merupakan aksi pembunuhan dibalas pembunuhan di antara para anggota Serikat Penambang dan Serikat Konstruksi dan Serikat Penambang Nasional.

Para pekerja hari Jumat berkumpul di tempat naas itu. Kali ini mereka tidak membawa tongkat, tetapi banyak di antara mereka membawa payung. Para pemimpin agama memimpin doa. Para politisi oposisi hadir di sana, tetapi para pejabat partai Kongres Nasional Afrika yang berkuasa tidak tampak, demikian pula Serikat Penambang Nasional. Serikat yang kuat itu merupakan bagian dari federasi yang menjadi salah satu sekutu kunci ANC.

Aktivis Afrika Selatan Kumi Naidoo, yang kini memimpin organisasi lingkungan internasional Greenpeace, mengatakan kematian akibat penembakan itu merupakan kegagalan pemerintah pasca-apartheid Afrika Selatan untuk memenuhi janjinya melindungi rakyat.

"Tidak ada pembenaran bagi kolusi yang kita lihat antara otorita negara, bisnis besar maupun partai yang berkuasa dan berbagai unsur pemerintahan," tutur Naidoo. "Fakta bahwa tidak ada kesediaan mengakui penyimpangan besar dari budaya hak asasi manusia yang kami coba bangun merupakan indikasi bahwa orang-orang yang bertanggung jawab berada pada pucuk pimpinan politik Afrika Selatan.”

Kekerasan terus berlanjut, dan wilayah itu kini diselimuti keheningan. Tidak jelas kapan rasa pedih itu akan mereda.