Polisi Afrika Selatan, Jumat (21/4) mengusir lebih dari seratus pencari suaka yang berkemah selama lebih dari tiga tahun di luar kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Pretoria.
Puluhan pencari suaka mulai tinggal di tenda-tenda darurat yang didirikan di luar kantor UNHCR meminta untuk dipindahkan ke negara lain setelah serentetan kekerasan antiorang asing (xenophobia) pada tahun 2019.
Pemerintah kota Pretoria minggu lalu mendapat perintah dari sebuah pengadilan tinggi untuk mengusir mereka.
Dokumen pengadilan menyatakan bahwa para pengungsi akan dipindahkan ke Lindela Repatriation Centre, sebuah pusat penampungan sementara bagi migran tidak berdokumen yang akan dideportasi ke negara asal mereka.
Puluhan polisi melakukan penggusuran dengan bantuan petugas imigrasi dan lainnya.
Dengan menggunakan pengeras suara, pengacara negara bagian Kobus Meijer memperingatkan para migran bahwa mereka "akan ditangkap" dan "ditahan" jika menolak pemindahan.
Beberapa keluarga pindah secara sukarela sementara yang lain memprotes. "Lebih baik saya mati di sini, karena saya tidak akan pergi ke Lindela," teriak seorang pengungsi.
Perempuan yang tampak tertekan itu, dengan pakaian tidur melilit pinggangnya, berasal dari Republik Demokratik Kongo.
Juru bicara UNHCR Laura Padoan mengatakan kepada AFP bahwa "mereka meminta agar kami membawa mereka ke kamp-kamp pengungsi di negara lain tetapi ini di luar mandat kami."
UNHCR mendesak otoritas penggusuran untuk melakukannya "secara damai dan para pencari suaka diperlakukan secara manusiawi, bermartabat dan hormat," kata Padoan.
Afrika Selatan menawarkan beberapa kebijakan suaka paling progresif di dunia, memungkinkan orang asing untuk mengajukan status pengungsi dan pekerjaan.
Tetapi kelompok-kelompok HAM mengatakan sistem aplikasi itu cacat dan macet, membuat banyak pencari suaka terjebak dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun.
Sebagai negara dengan ekonomi paling maju di benua itu, Afrika Selatan juga menjadi magnet bagi para migran ekonomi, sebuah situasi yang memicu kebencian di kalangan pengangguran Afrika Selatan dan memicu ledakan sporadis kekerasan xenofobia. [ab/uh]