Agar Bisa Berlayar dari Turki ke Gaza, Armada Bantuan Internasional Cari Bendera Baru

FILE - Akdeniz RoRo, bagian dari Koalisi Armada Kebebasan, menunggu diberangkatkan dari pelabuhan Tuzla, dekat Istanbul, 19 April 2024.

Sejumlah aktivis di armada kapal internasional yang mengangkut bantuan kemanusiaan sedang mengajukan permohonan mendapatkan bendera maritim baru untuk berlayar dari Turki ke Gaza. Bendera pada dua kapal mereka diturunkan oleh pihak berwenang Guinea-Bissau pekan lalu.

“Kami akan menggunakan bendera dari negara lain. Kami juga akan mendaftar ke Turki. Kami juga akan berusaha mendapatkan bendera Turki,” kata Behesti Ismail Songur, Ketua Asosiasi Mavi Marmara, kelompok yang menjadi bagian dari armada internasional itu, kepada VOA.

“Jadi, ini akan menjadi tes bagi semua negara. Kami akan melihat siapa yang akan cukup berani memberi bendera untuk armada kebebasan,” kata Songur.

Armada ini diorganisasikan oleh Freedom Flotilla Coalition, yang terdiri dari beberapa organisasi Turki dan internasional lainnya, termasuk Yayasan Bantuan Kemanusiaan Islam Turki (IHH) dan Asosiasi Mavi Marmara.

Inspeksi

Armada ini memiliki tiga kapal, masing-masing Vicdan, Anadolu, dan Akdeniz.

Anadolu, yang berlabuh di pelabuhan Iskenderun di kawasan Laut Tengah, Turki, siap mengirim 5.000 ton bantuan kemanusiaan. Sementara itu, para aktivis berencana untuk berlayar ke Gaza dengan feri Akdeniz dari galangan kapal Tuzla, Istanbul. Vicdan, yang diakuisisi kelompok itu baru-baru ini, bukan bagian dari pelayaran yang direncanakan.

Anadolu dan Akdeniz berbendera Guinea-Bissau hingga pekan lalu. Ketika itu Kantor Pendaftaran Kapal Internasional Guinea-Bissau (GBISR) menginspeksi kedua kapal tersebut dan memutuskan untuk menurunkan bendera mereka.
Para penyelenggara armada itu mengatakan GBISR mengacu pada rencana misi mereka ke Gaza sewaktu memberitahu tentang penurunan bendera itu. GBISR tidak menanggapi permintaan komentar dari VOA.

Para penyelenggara armada itu yakin bahwa pihak berwenang Guinea-Bissau menarik bendera mereka karena tekanan dari Israel, yang berkeberatan atas penolakan dari penyelenggara mengenai inspeksi barang terlarang dan senjata di kapal tersebut. Tetapi Presiden Guinea-Bissau Umaro Sissoco Embalo menolak tuduhan tersebut hari Senin.

Para pekerja mempersiapkan kapal Freedom Flotilla Coalition saat berlabuh di pelabuhan Tuzla di Istanbul, Turki, Jumat, 19 April 2024. (AP/Khalil Hamra)

Embalo mengatakan kepada kantor berita Portugal LUSA bahwa ia tidak pernah berbicara dengan mitranya dari Israel mengenai “pemasangan bendera,” seraya mengatakan ini bukan masalah yang akan ia tangani.

“Saya biasanya tidak berbicara dengan perdana menteri Israel. Saya berbicara dengan presiden Israel, teman yang saya kenal bertahun-tahun silam. Dialah yang telah saya ajak berbicara, tetapi mengenai perang di Jalur Gaza,” kata Embalo seraya menambahkan bahwa ia berbicara dengan Presiden Israel Isaac Herzog pada hari Minggu yang lalu.

Mavi Marmara

Pada 22 April, televisi Israel Channel 12 melaporkan bahwa Shayetet 13, unit pasukan elite militer Israel, telah bersiap untuk mencegat armada itu, mengutip pernyataan Pasukan Pertahanan Israel.

Shayetet 13 juga terlibat pada tahun 2010 ketika Mavi Marmara, yang membawa aktivis pro-Palestina yang juga mencakup IHH, berupaya menerobos blokade Israel di Gaza dengan armada kapal laut. Israel menganggap IHH sebagai kelompok teroris.

Unit-unit Israel naik ke Mavi Marmara dengan helikopter di perairan internasional, membunuh sembilan aktivis. Sedikitnya tujuh tentara Israel terluka sewaktu para aktivis menyerang mereka dengan tongkat, pisau dan pipa.

500 Aktivis Siap Masuk Gaza dengan Armada Kapal dari Turki

Menurut laporan harian berbahasa Spanyol El Pais bertanggal 25 April, para aktivis yang siap berlayar dengan Anadolu dan Akdeniz, mengikuti pelatihan dasar di Istanbul jika terjadi serangan Israel terhadap armada itu. Pelatihan diberikan oleh Lisa Fithian, pakar Amerika yang mengajarkan “perlawanan secara damai.”

Sedikitnya 500 aktivis internasional siap berlayar bersama armada itu, yang mencakup Nkosi Zwelivelile Mandela, cucu mendiang Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela; Ada Colau, mantan wali kota Barcelona; dan Ann Wright, mantan kolonel Angkatan Darat dan diplomat AS yang mengundurkan diri dari Departemen Luar Negeri karena menentang invasi militer pimpinan AS terhadap Irak pada tahun 2003.

Wright, yang juga berpartisipasi di Mavi Marmara pada tahun 2010, menuduh AS menekan armada yang sekarang ini untuk mencegahnya berlayar. “AS sangat terlibat dalam upaya menghentikan armada ke Gaza,” kata Wright, mengacu pada surat kepada Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang ditandatangani oleh 20 anggota Kongres AS pekan lalu.

Your browser doesn’t support HTML5

Koalisi "Freedom Flotilla" Berupaya Menembus Blokade Israel di Gaza

Dalam surat tersebut, ke-20 anggota DPR AS itu mengatakan mereka “sangat prihatin oleh laporan mengenai Freedom Flotilla Coalition ,yang berencana melanggar batas keamanan yang telah ditetapkan dengan sejumlah kapal untuk menyampaikan bantuan ke Gaza.”

“Armada itu, yang dipimpin antara lain oleh IHH yang punya hubungan dekat dengan pemerintah Turki dan sebelumnya menggalang dana untuk Hamas, bermaksud untuk memangkas saluran-saluran bantuan yang sudah ada dan menolak mengizinkan inspeksi Israel terhadap muatan mereka, sehingga menimbulkan keraguan terhadap maksud misi itu,” tulis surat itu.

Dua puluh anggota DPR AS itu juga meminta Blinken “agar berdialog langsung dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan dan pemerintah Turki untuk mencegah atau menunda keberangkatan armada itu, serta memastikan seluruh kiriman ke Gaza diperiksa dan memastikan kepatuhannya pada standar internasional untuk bantuan kemanusiaan.”

Wright berharap Erdogan akan mendukung armada itu. Erdogan dan para pejabat Turki belum berkomentar secara terbuka mengenai armada tersebut.

Erdogan menerima pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh di Istanbul bulan lalu. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan Rabu lalu mengumumkan bahwa Ankara telah memutuskan untuk bergabung dengan gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag. [uh/em]