Ahli mengatakan jika pemerintah berniat menggunakan shale gas untuk menekan penggunaan BBM, teknologi pengolahannya harus serius ditingkatkan.
JAKARTA —
Ahli geologi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Agus Guntoro, mengatakan bahwa jika pemerintah berniat menggunakan gas alam yang disebut shale gas untuk menekan penggunaan bahan bakar minyak, pemerintah harus serius meningkatkan teknologi pengolahan shale.
Ditambahkannya, Indonesia memiliki cekungan yang banyak mengandung shale gas, atau gas alam yang dihasilkan dari serpihan batu shale, dan sangat berpotensi untuk diolah menjadi bahan bakar.
Agus menjelaskan shale yang ada di alam sekitar Indonesia saat ini dalam jumlah banyak, bahkan setara dengan shale yang ada di Amerika Serikat.
“Namun masalahnya untuk dapat memproduksi gas itu bukan hanya harus ada shalenya. Ada sekitar 2.000-3.000 TCF (trillion cubic feet) di Indonesia dan itu luar biasanya besarnya, tetapi bagaimana kita memproduksinya? semua itu kan ada di bawah bumi harus kita tes, nah masalahnya sekarang perusahaanya aja belum ada,” ujar Agus usai berbicara dalam Lokakarya mengenai Perubahan Pasar Gas Global dan Pengembangan Gas Alam termasuk Shale Gas di Jakarta, Rabu (8/5).
Berlangsung sejak Senin, lokakarya tersebut diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat, yang optimis bahwa ke depannya nanti kedua negara mampu bekerja sama dalam hal perdagangan shale gas.
Kondisi tersebut karena Amerika menilai Indonesia merupakan pasar yang luas untuk penggunaan gas, sementara Indonesia menilai teknologi yang dimiliki Amerika untuk produksi shale gas sudah sangat berpengalaman.
“Kita dan Amerika hampir sama kemungkinan potensialnya tetapi Amerika sudah produksi sekarang 27 billion cubic feet per hari. Kalau kita kalikan harganya US$5 saja maka sehari $135 juta sedangkan kita seperakpun belum,” ujar Agus.
“Menurut saya ini kan yang harus dipercepat. Yang namanya energi itu hampir 30 persen biaya dari manufacturing, kalau kita bisa tekan 10 persen luar biasa, barang kita yang harusnya bisa jual Rp 1.000 sekarang karena gas mahal jadi Rp 1.500, sementara China jual Rp 1.200. Kalah kita.”
Agus menambahkan menurut penelitian para ahli geologi di Indonesia, negara ini memiliki sekitar 60 cekungan yang kaya akan shale. Lokasinya antara lain di Sumatra Utara, Sumatra bagian tengah, Sumatra Selatan, Barito, Kutai dan Tarakan.
“Kita punya namanya West Java, East Java, kita punya yang namanya Papua dari central range, ada Bintuni, ada Salawati, kita punya di Buton, kita punya di South Sulawesi, kita punya di Seram,” ujar Agus.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Susilo Siswoutomo mengatakan, pemerintah Indonesia mengundang perusahaan-perusahaan Amerika yang berpengalaman memproduksi shale gas sebagai persiapan Indonesia beralih dari BBM ke bahan bakar gas atau BBG.
Ditegaskan Susilo, ada empat persyaratan bagi perusahaan yang ingin berinvestasi memproduksi shale gas di Indonesia sesuai semangat peningkatan investasi di tanah air yaitu pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja, pro-warga miskin dan pro-lingkungan hidup.
Jika tidak memenuhi, “jangan berinvestasi di sini, lebih baik datang untuk bersenang-senang seperti mengunjungi Bali dan Jakarta,” ujarnya.
Sebelum shale gas diproduksi di Indonesia, pemerintah Amerika mengatakan melalui berberapa perusahaan bidang energi termasuk penghasil shale gas berencana mengekspor shale gas ke Indonesia, namun harus mempelajari terlebih dahulu kebijakan yang berlaku bagi kedua negara.
Ditambahkannya, Indonesia memiliki cekungan yang banyak mengandung shale gas, atau gas alam yang dihasilkan dari serpihan batu shale, dan sangat berpotensi untuk diolah menjadi bahan bakar.
Agus menjelaskan shale yang ada di alam sekitar Indonesia saat ini dalam jumlah banyak, bahkan setara dengan shale yang ada di Amerika Serikat.
“Namun masalahnya untuk dapat memproduksi gas itu bukan hanya harus ada shalenya. Ada sekitar 2.000-3.000 TCF (trillion cubic feet) di Indonesia dan itu luar biasanya besarnya, tetapi bagaimana kita memproduksinya? semua itu kan ada di bawah bumi harus kita tes, nah masalahnya sekarang perusahaanya aja belum ada,” ujar Agus usai berbicara dalam Lokakarya mengenai Perubahan Pasar Gas Global dan Pengembangan Gas Alam termasuk Shale Gas di Jakarta, Rabu (8/5).
Berlangsung sejak Senin, lokakarya tersebut diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat, yang optimis bahwa ke depannya nanti kedua negara mampu bekerja sama dalam hal perdagangan shale gas.
Kondisi tersebut karena Amerika menilai Indonesia merupakan pasar yang luas untuk penggunaan gas, sementara Indonesia menilai teknologi yang dimiliki Amerika untuk produksi shale gas sudah sangat berpengalaman.
“Kita dan Amerika hampir sama kemungkinan potensialnya tetapi Amerika sudah produksi sekarang 27 billion cubic feet per hari. Kalau kita kalikan harganya US$5 saja maka sehari $135 juta sedangkan kita seperakpun belum,” ujar Agus.
“Menurut saya ini kan yang harus dipercepat. Yang namanya energi itu hampir 30 persen biaya dari manufacturing, kalau kita bisa tekan 10 persen luar biasa, barang kita yang harusnya bisa jual Rp 1.000 sekarang karena gas mahal jadi Rp 1.500, sementara China jual Rp 1.200. Kalah kita.”
Agus menambahkan menurut penelitian para ahli geologi di Indonesia, negara ini memiliki sekitar 60 cekungan yang kaya akan shale. Lokasinya antara lain di Sumatra Utara, Sumatra bagian tengah, Sumatra Selatan, Barito, Kutai dan Tarakan.
“Kita punya namanya West Java, East Java, kita punya yang namanya Papua dari central range, ada Bintuni, ada Salawati, kita punya di Buton, kita punya di South Sulawesi, kita punya di Seram,” ujar Agus.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Susilo Siswoutomo mengatakan, pemerintah Indonesia mengundang perusahaan-perusahaan Amerika yang berpengalaman memproduksi shale gas sebagai persiapan Indonesia beralih dari BBM ke bahan bakar gas atau BBG.
Ditegaskan Susilo, ada empat persyaratan bagi perusahaan yang ingin berinvestasi memproduksi shale gas di Indonesia sesuai semangat peningkatan investasi di tanah air yaitu pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja, pro-warga miskin dan pro-lingkungan hidup.
Jika tidak memenuhi, “jangan berinvestasi di sini, lebih baik datang untuk bersenang-senang seperti mengunjungi Bali dan Jakarta,” ujarnya.
Sebelum shale gas diproduksi di Indonesia, pemerintah Amerika mengatakan melalui berberapa perusahaan bidang energi termasuk penghasil shale gas berencana mengekspor shale gas ke Indonesia, namun harus mempelajari terlebih dahulu kebijakan yang berlaku bagi kedua negara.