Para ahli mengatakan orang mudah merasionalisasi dan pasrah pada praktik korupsi, dan bahwa ketidakjujuran itu menular.
WASHINGTON —
Pernahkah Anda ada dalam situasi berikut: Anda menawar mati-matian harga buah di pasar atau saat naik becak. Namun ketika berhadapan dengan pegawai pemerintah atau polisi lalu lintas, Anda dengan pasrah menerima saja dan rela memberi uang sogokan.
Mengapa kita menerima praktik korupsi? Mengapa kita menerima praktik suap dan nepotisme dalam pemerintahan?
“Kita merasionalisasi status quo karena itu meyakinkan kita bahwa situasi terkontrol dan kita akan memiliki hidup yang mudah diduga,” ujar Justin Friesen, kandidat doktor University of Waterloo di Ontario, Kanada, yang ikut menulis “Why Do People Defend Unjust, Inept and Corrupt Systems (Mengapa Orang Membela Sistem yang Tidak Adil, Bobrok dan Korup),” yang diterbitkan oleh jurnal Current Directions in Psychological Science.
“Orang-orang memiliki kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Tidak ada yang suka dikritik. Tidak ada yang suka kelompoknya dikritik,” ujarnya.
“Karena itu, orang-orang seringkali merasionalisasi dan membela sistem dan status quo tempat mereka berada.”
Di Kamboja, misalnya, hal itu berarti membayar “uang rokok” untuk pegawai perusahaan listrik supaya listrik tetap menyala. Di Amerika Serikat, hal itu berarti tetap diam saat teman kerja menagih bayaran lebih untuk klien atau berbohong dalam lembaran kerjanya dan makan gaji buta.
Pada dasarnya, orang ingin suasana tetap tenang. Dan jika Anda tidak memrotes masalah tersebut, ada kemungkinan Anda akan menjadi bagian darinya.
Menurut Lamar Pierce, wakil profesor di Washington University di St. Louis, dua faktor utama yang berkontribusi pada korupsi adalah motivasi ekonomi dan bias-bias pribadi.
Faktor kedua lebih kompleks daripada faktor pertama, yang biasanya berhubungan dengan memberi makan keluarga.
“Ketika orang dapat meyakinkan dirinya sendiri secara tidak rasional bahwa yang mereka lakukan adalah benar, bahwa itu bukan kesalahan mereka, bahwa mereka tidak akan menyakiti orang lain atau tertangkap, saat itulah timbul situasi seperti krisis kredit perumahan di Amerika,” ujarnya, mengacu pada situasi dimana pemberi pinjaman yang haus laba menyetujui usulan pinjaman dari orang-orang yang tidak mampu membayarnya.
Bahkan lebih mudah bagi orang untuk mengabaikan keinginan untuk menjadi baik jika mereka melakukan kecurangan “sedikit demi sedikit” dibandingkan sekaligus besar, menurut Francesca Gino, wakil profesor di Harvard Business School dan penulis Sidetracked: Why Our Decisions Get Derailed, and How We Can Stick to the Plan.
“Dengan melihat orang di sekeliling kita berbuat curang, terutama mereka yang merupakan teman sekantor atau teman sebaya, kita lebih mungkin mencurangi diri sendiri,” tambahnya. Ia menggambarkan ketidakjujuran sebagai “menular.”
Jadi, dimana kita harus menarik garis? Pierce mengatakan hal itu bisa dimulai dengan melemparkan pertanyaan sederhana: “Apa perasaan Anda jika membahas hal ini dengan ibu Anda pada makan malam?”.
Lalu tanya diri Anda sendiri mengenai konsekuensi-konsekuensi dari perbuatan Anda. “Apakah ada implikasi etika dalam hal ini? Siapa yang bisa tersakiti? Siapa yang mendapat untung? Apakah ini melanggar peraturan?”
Hanya perlu lima sampai 10 detik untuk melakukannya, ujar Pierce, namun dapat membuat perbedaan antara salah dan benar. (VOA/Kate Woodsome)
Mengapa kita menerima praktik korupsi? Mengapa kita menerima praktik suap dan nepotisme dalam pemerintahan?
“Kita merasionalisasi status quo karena itu meyakinkan kita bahwa situasi terkontrol dan kita akan memiliki hidup yang mudah diduga,” ujar Justin Friesen, kandidat doktor University of Waterloo di Ontario, Kanada, yang ikut menulis “Why Do People Defend Unjust, Inept and Corrupt Systems (Mengapa Orang Membela Sistem yang Tidak Adil, Bobrok dan Korup),” yang diterbitkan oleh jurnal Current Directions in Psychological Science.
“Orang-orang memiliki kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Tidak ada yang suka dikritik. Tidak ada yang suka kelompoknya dikritik,” ujarnya.
“Karena itu, orang-orang seringkali merasionalisasi dan membela sistem dan status quo tempat mereka berada.”
Di Kamboja, misalnya, hal itu berarti membayar “uang rokok” untuk pegawai perusahaan listrik supaya listrik tetap menyala. Di Amerika Serikat, hal itu berarti tetap diam saat teman kerja menagih bayaran lebih untuk klien atau berbohong dalam lembaran kerjanya dan makan gaji buta.
Pada dasarnya, orang ingin suasana tetap tenang. Dan jika Anda tidak memrotes masalah tersebut, ada kemungkinan Anda akan menjadi bagian darinya.
Menurut Lamar Pierce, wakil profesor di Washington University di St. Louis, dua faktor utama yang berkontribusi pada korupsi adalah motivasi ekonomi dan bias-bias pribadi.
Faktor kedua lebih kompleks daripada faktor pertama, yang biasanya berhubungan dengan memberi makan keluarga.
“Ketika orang dapat meyakinkan dirinya sendiri secara tidak rasional bahwa yang mereka lakukan adalah benar, bahwa itu bukan kesalahan mereka, bahwa mereka tidak akan menyakiti orang lain atau tertangkap, saat itulah timbul situasi seperti krisis kredit perumahan di Amerika,” ujarnya, mengacu pada situasi dimana pemberi pinjaman yang haus laba menyetujui usulan pinjaman dari orang-orang yang tidak mampu membayarnya.
Bahkan lebih mudah bagi orang untuk mengabaikan keinginan untuk menjadi baik jika mereka melakukan kecurangan “sedikit demi sedikit” dibandingkan sekaligus besar, menurut Francesca Gino, wakil profesor di Harvard Business School dan penulis Sidetracked: Why Our Decisions Get Derailed, and How We Can Stick to the Plan.
“Dengan melihat orang di sekeliling kita berbuat curang, terutama mereka yang merupakan teman sekantor atau teman sebaya, kita lebih mungkin mencurangi diri sendiri,” tambahnya. Ia menggambarkan ketidakjujuran sebagai “menular.”
Jadi, dimana kita harus menarik garis? Pierce mengatakan hal itu bisa dimulai dengan melemparkan pertanyaan sederhana: “Apa perasaan Anda jika membahas hal ini dengan ibu Anda pada makan malam?”.
Lalu tanya diri Anda sendiri mengenai konsekuensi-konsekuensi dari perbuatan Anda. “Apakah ada implikasi etika dalam hal ini? Siapa yang bisa tersakiti? Siapa yang mendapat untung? Apakah ini melanggar peraturan?”
Hanya perlu lima sampai 10 detik untuk melakukannya, ujar Pierce, namun dapat membuat perbedaan antara salah dan benar. (VOA/Kate Woodsome)