AJI Surabaya Serukan Perusahaan Media Perhatikan Kesejahteraan Jurnalis

  • Petrus Riski

Aksi Jurnalis Surabaya memperingati Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2015 (Foto:VOA/Petrus Risky)

Para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya melakukan aksi diam dengan memplester mulut, serta melakukan teaterikal dengan mengangkat karung hitam sebagai simbol beratnya tugas jurnalis.

Peringatan Hari Buruh 1 Mei di Surabaya ditandai dengan aksi unjuk rasa ribuan buruh dari berbagai elemen di Jawa Timur.

Belasan jurnalis dari berbagai media yang tergabung dalam AJI Surabaya, juga memperingati Hari Buruh Sedunia dengan melakukan aksi diam dan teaterikal, menyikapi masih banyaknya jurnalis sebagai pekerja media yang hidup belum sejahtera. Aksi dilakukan di depan Monumen Pers Perjuangan Surabaya dan di depan Gedung Negara Grahadi.

Para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya melakukan aksi diam dengan memplester mulut, serta melakukan teaterikal dengan mengangkat karung hitam sebagai simbol beratnya tugas jurnalis.

Menurut Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo, aksi ini sebagai bentuk solidaritas antar jurnalis, dimana masih banyak ditemui pekerja media yang belum sejahtera di tengah konglomerasi media oleh segelintir orang.

“Pada kenyataannya, jurnalis juga buruh, dan kita melihat bahwa konglomerasi media, konvergensi media, itu menyebabkan beban pekerjaan seorang jurnalis itu semakin berat, tetapi tidak diimbangi oleh tingkat kesejahteraan yang memadai dari perusahaan media. Itulah sebabnya AJI menyerukan supaya perusahaan media itu lebih memperhatikan akan kesejahteraan jurnalisnya,” kata Prasto Wardoyo, Ketua AJI Surabaya.

Prasto menambahkan, lemahnya posisi jurnalis secara hukum dalam hubungan kerja dengan perusahaan media, menjadikan profesi jurnalis sangat rentan terhadap tindak kekerasan tanpa ada jaminan dan perlindungan dari perusahaan media.

Your browser doesn’t support HTML5

AJI Surabaya Serukan Perusahaan Media Perhatikan Kesejahteraan Jurnalis

“Ada ketidakjelasan di dalam hubungan kerja antara buruh, jurnalis dalam kaitan ini dengan pihak lembaga pers tempat dia bekerja, misalkan bahwa mereka cuma dalam sebatas kontributor, stringer, koresponden, atau apa pun namanya, dimana di dalam hubungan kerjasama itu tidak ada kepastian hukum di dalam hubungan kerja tersebut, sehingga ketika terjadi kekerasan misalkan, tempat perusahaan dia bekerja itu cenderung lepas tangan. Hak-hak mereka itu akhirnya menjadi tidak dipenuhi,” lanjutnya.

Sementara itu Koordinator Divisi Advokasi AJI Surabaya, Yovinus Guntur Wicaksono mengungkapkan, dari sekian banyak perusahaan media yang ada di Surabaya, lebih dari separuh media di Surabaya masih belum memberikan upah yang layak kepada jurnalisnya.

“Ada sebetulnya yang sudah memberikan upah layak tetapi jumlahnya tidak besar, dan itu hanya pada media-media besar, dalam artian media-media setaraf nasional yang ada di Surabaya itu sudah, tetapi untuk media-media lokal, media-media online, cetak, itu masih banyak yang belum," kata Yovinus Guntur Wicaksono, Divisi Advokasi AJI Surabaya

"Di lapangan faktanya kami disuruh bekerja maksimal 24 jam, tapi disisi lain ketika kami berhadapan dengan masalah-masalah di luar, banyak yang kami temukan justru malah perusahaan media tidak memberikan perlindungan secara maksimal, nah ini harus lebih baik di masa yang akan datang,” imbuh Yovinus.

AJI Surabaya kata Yovinus, telah mengupayakan memasukkan profesi jurnalis ke dalam draf upah sektoral kepada Pemerintah Kota Surabaya, sebagai upaya mendorong perusahaan media memberikan upah yang layak kepada jurnalis.

“Salah satu langkah kami adalah melakukan lobi, melakukan negosiasi kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya, dan mereka sudah sepakat bahwa, intinya jurnalis masuk dalam upah sektoral. Nah, tinggal kita tunggu action dari Pemerintah Kota Surabaya, apakah mereka betul-betul menerapkan itu atau tidak,” lanjutnya.