Sejumlah kekerasan dan upaya menghalang-halangi wartawan masih ditemukan dalam beberapa tahun terakhir. Tindakan ini terutama dilakukan oleh pejabat pemerintah dan masyarakat umum.
Kondisi ini, menurut akademisi komunikasi Universitas Paramadina, Malik Gismar, disebabkan kurangnya kesadaran akan kemerdekaan pers.
“Kadang-kadang ada juga itu terjadi karena tidak aware. Baik pejabat, aparat masyarakatnya, tidak aware (sadar.red) bahwa ini sebetulnya melanggar. Ini sudah abuse. Kadang mereka pikir ini lazim saja, hal yang biasa saja,” ujarnya usai diskusi peran media dalam demokrasi di Paramadina Graduate School, Palmerah, Jakarta, Kamis (2/5) siang.
Malik mencontohkan, aparat yang tengah mengamankan demonstrasi bisa saja merasa stres. Akibatnya, bisa menumpahkan amarahnya kepada wartawan. Karena itu, ujarnya, wartawan juga harus berhati-hati.
“Management of demo itu kan stressful juga. Juga perlu kompetisi yang tinggi untuk tetap cool sehingga tidak memukul wartawan. Dari sisi wartawannya juga sendiri, menurut saya, harus pandai-pandai tahu jarak. Ini saya sudah intruding terlalu besar atau tidak,” tambahnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam laporannya mengungkap, kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Dalam kurun 2006-2014, kasusnya naik turun dengan rata-rata 50 kasus per tahun. Kekerasan terhadap wartawan tercatat dilakukan oleh antara lain pejabat publik, tentara, dan kelompok agama garis keras.
BACA JUGA: Hari Kebebasan Pers Internasional: Pers Indonesia Jalan di Tempat?Terbaru, dua jurnalis di Bandung, Jawa Barat, diduga jadi korban intimidasi aparat saat meliput demo Hari Buruh.
Sementara Reporters Without Borders (RSF), organisasi yang mendorong kebebasan pers di dunia, April lalu mengeluarkan laporan tahunan dan indeks kebebasan pers dunia. Indonesia, secara mengejutkan tetap berada di peringkat ke-124, yang berarti stagnan atau tidak ada kemajuan sama sekali dibanding 2018 lalu.
Guna memperbaiki situasi, Malik mendorong edukasi kepada aparat terkait hak-hak jurnalis.
“Kompetensi aparat yang tidak tahu, tidak bisa manage demo, sehingga luber menjadi kekerasan, berarti memang harus dijawab dengan apakah itu training atau apa,” tambah dia lagi.
Your browser doesn’t support HTML5
Di sisi lain, ada pula pihak yang sengaja ingin membungkam kemerdekaan pers. Untuk memperbaiki ini, ujar Malik, perlu perubahan di taraf regulasi: melindungi jurnalis secara lebih baik.
“Persoalan politik itu apa pula jawabannya? Yang kayak gitu harus didiskusikan secara serius dan tuntas dan keluar sebagai policy. Yang harus ada kan itu (policy). Kalau tidak ada policy-nya kan ya terus keluar terus (kekerasan),” terangnya. [rt/em]