Menjelang pemungutan suara di Pemilu 2024, lembaga survei yang kerap disebut sebagai alat untuk memetakan politik, gencar mengeluarkan hasil statistiknya. Namun sayangnya hasil survei itu kerap anomali dan menjadi perdebatan publik.
Akademisi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengatakan harus ada aturan soal transparansi aliran dana lembaga survei. Peraturan itu menjadi salah satu upaya untuk mencegah hasil survei yang anomali, dan menjaga integritas lembaga survei tersebut.
“Lembaga survei ini perlu diperiksa sebetulnya karena hasilnya sangat anomali. Ada yang memenangkan pasangan capres yang berbeda. Ada keanehan-keanehan yang terjadi karena memang kita belum punya semacam kode etik atau aturan yang mengatur lembaga survei,” kata Ubedilah dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Selasa (13/2).
BACA JUGA: Survei LSI: Prabowo-Gibran Raih 51,9 Persen Dukungan PemilihUbedilah menjelaskan sejauh ini lembaga-lembaga survei di Indonesia hanya diatur secara prosedural, misalnya mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan survei seperti Pemilu 2024. Namun sayangnya tak ada peraturan yang detail untuk lembaga survei.
“Tidak mengatur detail apakah lembaga survei yang menjadi konsultan kandidat boleh mempublikasi hasilnya. Kalau boleh (diumumkan hasil survei)? Boleh tidak diumumkan uangnya dari mana. Jadi itu yang saya sebut tidak ada aturan detail tentang lembaga survei,” jelasnya.
Menurut Ubedilah harus ada aturan yang mengatur lembaga survei agar tidak mempublikasikan hasil statistiknya ke publik.
“Lembaga survei yang menjadi konsultan kandidat dilarang mempublikasi hasil surveinya. Hasil survei hanya boleh digunakan oleh kliennya, itu lebih adil. Sementara lembaga survei yang mau mempublikasikan (ke publik) ya harus mengumumkan sumber dananya,” ucapnya.
Pakar: Lembaga Survei Harus Ungkap Secara Terbuka Kerja Sama dan Aliran Dana
Sementara itu pakar komunikasi politik, Effendi Gazali, mengatakan sejatinya lembaga-lembaga survei memiliki tiga prinsip salah satunya harus menyebutkan sedang bekerja sama atau dibayar oleh siapa.
“Mereka tidak mengumumkan sedang bekerja sama dengan siapa. Lalu dengan gembira terus menerus menyampaikan (hasil survei),” ujarnya yang juga hadir dalam diskusi publik itu,” ucapnya.
Lebih lanjut, kata Effendi, ada empat macam lembaga survei. Pertama, lembaga publik yang melakukan survei dan endowment atau dana abadi. Kedua, lembaga survei yang bersifat komersil. Ketiga, survei yang dilakukan atas kerja sama universitas dengan media, dan keempat adalah konsultan.
“Di luar itu semua ya konsultan. Bukan aib untuk menyebutkan sedang menjadi konsultan siapa,” ujar Effendi.
Dikutip dari laman resmi KPU, sampai 6 Februari 2024 tercatat ada 83 lembaga yang mengajukan pendaftaran sebagai lembaga survei, jajak pendapat, dan penghitungan cepat hasil Pemilu 2024. Dari 83 lembaga yang mengajukan pendaftaran, sebanyak 81 lembaga berstatus terdaftar dan dua lembaga sedang melakukan perbaikan/melengkapi dokumen.
KPU akan menerbitkan sertifikat bagi lembaga survei atau jajak pendapat yang telah memenuhi persyaratan. [aa/em]