Akhir Riwayat Pulau-Pulau Kecil Indonesia

Deputi Menteri Kelautan Indonesia, Arif Havas Oegroseno, menunjukkan lokasi Laut Natuna Utara pada peta baru Indonesia, dalam konferensi pers di Jakarta, Indonesia, 14 Juli 2017. (Foto: dok).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Namun nasib pulau-pulau kecil di Indonesia kini berada di ujung tanduk.

Ambisi pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menggenjot investasi guna mendongkrak perekonomian tanah air terbentur beberapa masalah. Salah satunya bisa mengancam keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pasalnya, pemerintah tetap mengeluarkan izin pertambangan di pulau-pulau kecil tersebut atas nama investasi. Padahal sesuai dengan amanat UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pasal 35 menyatakan bahwa “Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang untuk melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau, merugikan masyarakat sekitarnya”.

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar mengatakan Indonesia mempunyai 13 ribu lebih pulau kecil. Dari jumlah itu, sebanyak 55 pulau kecil sedang di eksploitasi habis-habisan oleh kegiatan pertambangan. Melky menjelaskan dari 55 pulau kecil tersebut saat ini, sebanyak 29 pulau kecil sedang dikeruk untuk kegiatan pertambangan komoditas nikel, batu bara, migas, emas dan biji besi. Pulau kecil yang mengalami ekploitasi parah, kata Melky terdapat di Maluku, Maluku Utara dan di seluruh Pulau Sulawesi.

“Tapi yang sedang dihajar habis-habisan adalah Pulau Wawonii, itu ada di Sulawesi Tenggara, Jadi pulau-pulau ini lebih banyak sudah dieksploitasi. Sebagian masih dalam tahap eksplorasi, tapi semuanya sudah mendapat izin dari pemerintah terutama pemerintah daerah untuk melakukan eksploitasi di pulau-pulau itu. jadi 55 pulau kecil itu sudah ada aktivitas pertambangan semua,” ujar Melky dalam acara Peluncuran laporan Pulau-Pulau Kecil, di Jakarta, Rabu (20/11).

Koalisi Masyarakat Sipil dan Nelayan Kecil Tradisional dalam konferensi pers "Peluncuran laporan Pulau-Pulau Kecil, di Jakarta, Rabu, 20 November 2019. (Foto: VOA/Ghita)

Ditambahkannya, sebenarnya pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait permasalahan ini. Ketika Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri KKP. Memang pihaknya berhasil memenangkan gugatan untuk mencabut izin pertambangan di Pulau Bangka. Namun selebihnya, Susi dinilai tidak bisa menyelesaikan permasalahan ini pada saat itu.

Melky menduga, pemerintah kesulitan menyelesaikan permasalahan ini karena ada banyak pejabat di pemerintahan yang terkait dengan berbagai perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil tersebut. selain itu, menurut Melky koordinasi antara kementerian terkait tidak berjalan dengan baik, sehingga izin pertambangan di pulau-pulau kecil tetap saja diterbitkan.

“Maka yang pertama adalah musti ada koordinasi lintas kementerian, antara kementerian untuk minimal punya perspektif yang sama untuk pulau-pulau kecil ini jangan dulu terus dibebani dengan berbagai macam izin tidak hanya tambang, bisa saja reklamasi, bisa soal sawit, soal properti dan lain-lain. Makanya penting untuk melakukan audit tadi untuk diketahui bersama bahwa ini problem yang nyata yang ada di pulau-pulau kecil, namun ke depan tantangannya adalah tambang-tambang ini terhubung dengan geng-geng yang saya sebut tadi, mungkin salah satu yang terberat dari sisi pemerintah yaitu tadi konflik kepentingan. Karena bagaimana ceritanya Bambang yang merupakan Dirjen Minerba kementerian ESDM, apakah (Menteri KKP) Edhy Prabowo berani fight dengan Bambang, atau jangan-jangan ada kompromi juga,” jelas Melky.

Ia mengingatkan agar pemerintah bergegas mengatasi permasalahan ini. Karena kalau tidak, keberadaan pulau-pulau kecil tersebut akan habis atau tenggelam akibat aktivitas pertambangan yang dilakukan atas nama investasi semata. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena cukup banyak masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil tersebut. Akibatnya mereka kehilangan mata pencaharian, bahkan tergusur karena lahannya diambil oleh perusahaan pertambangan tersebut. Apalagi sudah ada pulau kecil di Indonesia yang sudah tenggelam.

“Sesungguhnya kita sedang mengalami krisis iklim saat ini, akibat pembangunan dimana-mana, kawasan hutan dibabat habis-habisan, data KKP di 2011 sudah ada 28 pulau kecil yang tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, 24 lainnya terancam tenggelam juga, tinggal menunggu waktu, karena permukaan air laut kita kan semakin lama semakin naik. Aktivitas tambang karena dia akan membongkar perut pulau ini yang kemudian dia akan menambah pemicu untuk kemudian pulau-pulau kecil ini bisa lenyap. Sudah ada 28 pulau kecil yang tenggelam di Indonesia, namun sayangnya tidak pernah dibuka,” tambah Melky.

KontraS: Aktivitas Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil di Indonesia melanggar HAM

Dalam kesempatan yang sama, Kabiro Riset dan Dokumentasi KontraS Rivanlee Anandar menyoroti tentang kondisi pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di pulau-pulau kecil yang terdapat kegiatan pertambangan.

Pihaknya pada tahun 2016 dan 2017 terjun langsung ketiga Pulau yaitu Pulau Sunut di Lombok Timur, Pulau Bangka di Sulawesi Utara, Pulau Romang di Maluku Barat Daya untuk mengecek bagaimana pemenuhan HAM disana. Ketiga lokasi ini dipilih karena kegiatan pertambangannya masih berlangsung sampai saat ini.

Rivanlee mencontohkan kegiatan pertambangan di Pulau Bangka, Sulawesi Utara misalnya. Meskipun izin pertambangan sudah dicabut karena gugatan koalisi masyarakat sipil menang, namun pemerintah khususnya pemerintah daerah sama sekali tidak melakukan rehabilitasi terhadap kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan tersebut. selain itu, pemda setempat sama sekali tidak menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang layak bagi masyarakat disana.

“Di Bangka, dikenal dengan banyak orang dengan kasus tambangnya, dapat dilihat dari proses jual beli tanah yang per meternya dihargai Rp500 per meter, dan itu digunakan untuk kebutuhan perusahaan, memang proses hukum yang sedang berjalan itu sudah menggeser atau memenangkan warga Pulau Bangka. Namun pada hari ini aset-asetnya dari perusahaan pun masih ada di Pulau Bangka. Selain itu dampak yang timbul dari kegiatan ekstraktif yang ada di Pulau Bangka sendiri belum juga terehabilitasi dengan baik, ini bisa terlihat dari keberadaan mangrove yang hilang, laut yang tadinya biru lalu berubah menjadi air cokelat, tidak juga mendapatkan pemulihan sampai hari ini. Juga berkaitan dnegan hak-hak dasar lainnya seperti sarana kesehatan dan pendidikan negara juga tidak hadir dnegan mempermudah keberadaan sekolah-sekolah atau menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang ada disana, apakah ada sekolah yang layak, ataukah ada tenaga pengajar yang berkualitas, yang sekiranya bisa membantu warga, untuk mendapatkan pendidikan secara utuh,” jelasnya.

Dengan berbagai permasalahan HAM di ketiga pulau tersebut, KontraS melihat banyak yang dirampas dari masyarakat yang tinggal di pulau kecil tersebut, seperti hak sipil politik yang terkait dengan persoalan kebebasan bergerak, bepergian dan berpindah tempat. Lalu hak jaminan terhadap kelompok minoritas dan masyarakat adat, dimana masyarakat adat secara formil harus mendapatkan surat dari pemda atau pemda setempat, namun nyatanya hal ini sampai sekarang masih belum diakomodir. Juga dari segi ekonomi, sosial dan budaya.

Begitu banyak masyarakat di pulau kecil itu, yang harus rela kehilangan mata pencahariannya akibat kegiatan pertambangan tersebut. Padahal, masyarakat mengantungkan hidupnya dari mencari ikan atau berladang. Semuanya hilang begitu saja.

Nelayan: Pendapatan Kami Menurun Drastis

Hal itulah yang dirasakan oleh Rustan, seorang nelayan kecil tradisional yang berasal dari Tarakan, Kalimantan Utara. Ia menceritakan sejak ada kegiatan loading batu bara di perairan Tarakan, penghasilannya menurun drastis hingga 60 persen. Selain itu nyawa nelayan tradisional kecil tersebut juga terancam, karena perahu kecilnya harus berhadapan dengan kapal tongkang pengangkut batu bara.

Your browser doesn’t support HTML5

Akhir Riwayat Pulau-Pulau Kecil Indonesia

“Sejak munculnya kegiatan loading batu bara di perairan Tarakan itu, itu sangat berdampak bagi penghasilan kita selama ini, yang kedua lokasi tempat kita menangkap itu sebagai nelayan terbatas, kemudian nelayan kita terancam juga, karena lalu lalang kapal tongkang itu di tempat kita mencari nafkah, dan itu sudah terbukti beberapa kali terjadi benturan antara kita dengan kapal-kapal besar itu, bahkan kemarin empat bulan yang lalu menelan korban, teman kita terdampar masuk di bawah kapal itu, dan sempat diopname di rumah sakit selama tiga hari, untung tidak meninggal, tapi perahunya hancur semua,” ujar Rustan.

Sebenarnya, pihaknya sudah mengadukan permasalahan ini kepada pemda dan instasi terkait.Namun, kata Rustan pemda seakan tidak peduli dengan nasib masyarakat. Bahkan masyarakat tidak dilibatkan sama sekali ketika pemda merumuskan berbagai kebijakan yang erat kaitannya dengan nasib para nelayan ataupun petani ini.

“Bahkan kekecewaan kita itu terbentuk peraturan daerah itu kan semestinya di tata, perda tentang tata ruang, semestinya kan harus diatur, wilayah ekonomi, di sini, nelayan di sini, yang paling parah di situ adalah zona pemanfaatan umum di situ tumpang tindih ada nelayannya, ada usaha ekonominya, ada transportasinya, di situlah semua titik puncak yang terjadi tumpang tindih itu,” jelasnya.

Kondisi ini menjadikan, ribuan nelayan beralih profesi. Rustan mengatakan saat ini masih ada 3.000 nelayan yang masih aktif, walaupun penghasilannya harus menurun drastis. Sebelumnya ada sekitar 7.000 nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut. Namun sebagian memilih untuk beralih profesi sebagai tukang ojek atau petani untuk bisa menyambung hidup. [gi/em]