Sebanyak 12 orang warga Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, melakukan aksi mogok makan di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, di Jalan Pahlawan, Surabaya, Senin (24/2). Ini merupakan aksi lanjutan Kayuh Sepeda dari Banyuwangi ke Surabaya, menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang emas di Banyuwangi.
Aksi mogok makan dilakukan 12 orang warga Banyuwangi khususnya dari Kecamatan Pesanggaran, menuntut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksesindo (DSI), yang menambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan Salakan.
Warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Siwi Lestari mengatakan, aksi mogok makan dilakukan hingga Gubernur Jawa Timur menemui mereka dan mengabulkan tuntutan pencabutan IUP dua perusahaan di Banyuwangi.
“Kemungkinan sampai malam, terus bersambung besok lagi, sampai Khofifah menemui kita semua. Karena tambang itu merusak ruang hidup kami, kami ingin mempertahankan ruang hidup kami untuk anak cucu kami. Soalnya, apalagi yang sekarang itu di lingkup (gunung) Salakan, kurang lebih di situ ada 6.000 jiwa, 1.500 KK (kepala keluarga), itu tempat evakuasinya tsunami. Kalau sampai Salakan ditambang, kita mau berlindung di mana?,” kata Siwi.
Kepala Advokasi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Mohammad Afandi mengatakan, Gubernur selaku kepala daerah memiliki kewenangan untuk mencabut IUP apabila daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban operasional produksi sumber daya mineral, sesuai pasal 113 dan 119, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Menurut Afandi, Menteri, Gubernur, atau Bupati dan Wali Kota, juga wajb mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolaknya permohonan pencabutan izin oleh masyarakat.
“Sesuai dengan Undang-Undang Tahun 2007 Nomor 24 tentang kebencanaan, disebutkan di pasal 71, di sini ada peran serta fungsi pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh sumber kebijakan pembangunan dan kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana. Tentunya poin ini harus digaris bawahi, bahwasanya wewenang pemerintah sangat besar untuk melihat, mengevaluasi kembali, bagaimana industri-industri, khususnya industri ekstraktif di kawasan rawan bencana,” kata Mohammad Afandi.
Walhi Jawa Timur mencatat, pernah terjadi bencana tsunami di pantai selatan Banyuwangi, termasuk di wilayah Kecamatan Pesanggaran. Afandi menyebut, bila IUP perusahaan emas di Banyuwangi tidak dicabut, maka bisa diperkirakan bencana dan korban jiwa lebih besar dapat terjadi bila gunung Tumpang Pitu dan Salakan habis ditambang.
“Sebagaimana catatan kami (Walhi) tahun 1994, di kawasan yang sekarang menjadi lokasi pertambangan tersebut pernah terjadi bencana tsunami dan menelan korban 200 jiwa lebih. Maka jika pertambangan ini diteruskan dan apalagi dengan izin sampai yang luasnya hampir 11.000 (hektare), untuk BSI dan DSI, tentunya potensi ancaman saat terjadi bencana misalnya tsunami kembali, korban kemungkinan besar kita duga akan lebih banyak. Karena bagi warga sendiri, keberadaan Gunung Tumpang Pitu, Gunung Salakan dan beberapa gunung yang ada di wilayah mereka merupakan benteng tsunami bagi kampung mereka,” lanjutnya.
Rencana eksplorasi tambahan yang dilakukan PT. Damai Suksesindo (DSI) di wilayah IUP di tujuh bukit di selatan Banyuwangi, merupakan kelanjutan operasional pertambangan yang dilakukan PT DSI sejak 2 tahun terakhir. Eksplorasi tambahan yang dilakukan di wilayah IUP itu mendapat penolakan dari sebagian warga Dusun Pancer, meski pihak perusahaan mengaku telah melakukan dialog dan pendekatan terhadap warga.
Tom Malik selaku Senior Manager Corporate Communication, Merdeka Copper Gold, perusahaan induk PT. BSI dan PT. DSI, mengatakan, penolakan sebagian warga Dusun Pancer terkait berkurangnya sumber mata air, pencemaran lingkungan, hingga ancaman terjadinya bencana akibat hilangnya bentang alam yang melindungi wilayah warga dari bahaya tsunami, tidak berdasar. Pengurangan tinggi bukit memang akan terjadi, namun tidak mengikis habis dan menyisakan sekitar 200 mdpl dari 380 mdpl saat ini. Sedangkan air yang digunakan untuk operasional adalah dari 6 waduk tadah hujan yang dibangun di sekitar pertambangan.
Your browser doesn’t support HTML5
Tom menyebut, warga yang menuntut pencabutan IUP adalah kelompok warga yang belum tersentuh program-program dari perusahaan dan menuntut hal itu. Tom menambahkan, sebagian warga yang melakukan aksi adalah kelompok yang mempunyai kepentingan pribadi yang berbeda dengan warga lain, serta tidak mau berdiskusi dengan perusahaan.
“Sebenarnya yang dituntut kelihatannya adalah program-program. Lha, bagaimana mereka bisa menuntut program kalau mereka meminta perusahaan ditutup, kalau tidak ada perusahaan ya tidak ada program. Jadi, memang sebagian masyarakat memang menuntut itu, sebagian besar mendukung karena mereka juga sudah menikmati program-program kita, sebagian besar juga sudah bekerja di perusahaan. Jadi, memang mungkin saja ada pihak-pihak yang belum merasakan, dan kita sangat terbuka untuk diskusi untuk itu,” jelas Tom Malik.
Sebelumnya, sekitar 70 warga sekitar Tumpang Pitu dan Salakan melakukan aksi Kayuh Sepeda dari Banyuwangi ke Surabaya mulai 15 Februari 2020. Di tengah jalan, mereka terbagi dengan tujuan Surabaya untuk bertemu Gubernur Jawa Timur, dan tujuan Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo. Selain menuntut pencabutan IUP, warga juga mengadukan kondisi kesehatan, sulitnya mendapatkan air tanah, serta ikan oleh nelayan, yang diduga akibat aktivitas pertambangan. [pr/uh]