Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB dan Kepala Misi Stabilisi PBB di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO) Bintou Keita pada Selasa (5/10) mengatakan aksi kekerasan dan kendala akses di bagian timur Republik Demokratik Kongro masih terus menghambat operasi kemanusiaan.
Keita menyoroti dua tantangan utama – yaitu keamanan dan perlindungan warga sipil – dan proses konsolidasi demokrasi di Kongo.
“Ketika kita mendekati pembaruan mandat MONUSCO, saya percaya bahwa rencana transisi bersama merupakan peta jalan yang dapat membantu MONUSCO di tahun-tahun mendatang dan mempersiapkan dasar untuk penarikan misi yang tertib dan bertanggungjawab," ujar Keita.
"Ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk menyudahi aksi kekerasan di bagian timur (Kongo), dan mendorong dialog politik yang diperlukan untuk membuka jalan bagi pemilu yang kredibel dan transparan pada tahun 2023, serta mendukung penguatan institusi negara dalam jangka panjang.”
Keita mengulangi perlunya proses pemilu yang inklusif dan damai yang didasarkan pada “dialog, kepercayaan dan transparansi.”
Ia menambahkan, “sejak pemerintah mengumumkan pengepungan di propinsi Kivu Utara dan Ituri, misi itu telah meningkatkan upayanya untuk mendukung angkatan bersenjata, kepolisian dan otoritas kehakiman untuk memulihkan kehadiran dan otoritas negara di masing-masing wilayah ini.”
Menanggapi tuduhan baru-baru ini tentang eksploitasi dan pelecehan seksual selama penanganan pandemi Ebola, Keita mengatakan “saya ingin menggarisbawahi komitmen teguh MONUSCO dan tim negara PBB terhadap kebijakan tanpa toleransi terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual, dan untuk memberikan bantuan komprehensif kepada para korban.”
Tim kemanusiaan untuk Kongo, tambahnya, telah memperkuat sistem pencegahan dan sistem untuk mengatasi eksploitasi dan kekerasan seksual dengan menyediakan 1,5 juta dolar melalui dana kemanusiaan bersama. (em/jm)