Puluhan aktivis dari sejumlah organisasi pro-demokrasi di Aceh hari Senin (10/12) menggelar aksi damai dalam rangka memperigati hari HAM Internasional 10 Desember 2012.
BANDA ACEH —
Aktivis mendesak pemerintah Aceh segera menuntaskan pembahasan Rancangan Qanun atau perundangan yang lebih menjamin keadilan serta perlindungan hukum bagi warga masyarakat korban pelanggaran HAM semasa konflik pernah melanda Aceh.
Puluhan aktivis bergantian melakukan orasi dalam rangkaian peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember 2012. Kegiatan aksi damai dipusatkan di Simpang Lima, terletak di pusat Kota Banda Aceh.
Salah seorang peserta aksi, Fauzan Santa dari organisasi pro-demokrasi Dokarim Banda Aceh mengatakan momentum peringatan hari HAM Internasional yang digelar bertujuan mengingatkan pemerintah dan parlemen Aceh, termasuk pemerintah pusat tentang kewajibannya untuk menyelesaikan sejumlah perundangan untuk perlindungan bagi keluarga korban konflik serta mengungkap berbagai dugaan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di provinsi Aceh semasa konflik.
”Yang paling utama, (adalah terbentuknya) perundangan atau Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Persoalan (inilah) yang harus dituntaskan hari ini, sebelum kita lanjutkan ke masa depan. (Hal) ini (akan men)jadi beban di masa depan, kalau tidak (ter)selesai(kan),” ungkap Fauzan.
Fauzan melihat respon cukup positif dari pihak parlemen Aceh yang telah menerima rancangan awal Qanun KKR yang kini dijadwalkan akan segera dibahas di DPR Aceh.
Sebelumnya, pihak pemerintah dan parlemen Aceh menyatakan tekad mereka untuk memperjuangkan terwujudnya perundangan atau Qanun terkait pembentukan KKR serta pengadilan HAM di provinsi Aceh, di tingkat lokal dan nasional.
Aksi damai peringatan hari HAM Internasional tidak hanya digelar di Banda Aceh, namun juga di sejumlah kota-kota penting di tujuh kabupaten kota di provinsi Aceh. Diantaranya Lhokseumawe, Takengon, Meulaboh, Pidie, Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat.
Lebih jauh Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar Muhammad mengatakan, walau pernah ada pengadilan terhadap pelaku kekerasan semasa konflik, namun masih cukup banyak kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang belum terungkap di provinsi Aceh.
“Untuk kasus dengan mekanisme di bawah tahun 2000 dengan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, diantaranya kasus-kasus rumah geudong, kasus Simpang KKA, tragedi Beutong Ateuh dan tragedi Cireucieh Aceh Jaya dan tragedi Alue I Nireh, pihak yang terlibat diduga aparat negara,” ungkap Zulfikar.
Dalam tuntutannya, para aktivis menyatakan bahwa sebelum KKR dan pengadilan HAM terbentuk, mereka juga mendesak pemerintah Aceh agar lebih peduli terhadap masalah-masalah ekonomi dan kesejahteraan serta pendidikan para yatim piatu, janda dan keluarga korban konflik.
Para analis global memperkirakan, sebelum penadatanganan perdamaian 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MOU Helsinki, sekitar 17 ribu warga sipil menjadi korban akibat pergolakan yang pernah mendera Aceh selama sekitar 30 tahun.
Dalam waktu dekat, Aceh akan menjadi tuan rumah konferensi internasional yang menghadirkan sejumlah delegasi negara dan organisasi HAM dunia untuk menghimpun kesaksian dan harapan-harapan para korban konflik Aceh. Dijadwalkan, konferensi juga dihadiri pelopor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang berwenang.
Pakar mengatakan, peringatan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 10 Desember diperkenalkan untuk pertama kali sejak disahkannya Deklarasi HAM oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.
Puluhan aktivis bergantian melakukan orasi dalam rangkaian peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember 2012. Kegiatan aksi damai dipusatkan di Simpang Lima, terletak di pusat Kota Banda Aceh.
Salah seorang peserta aksi, Fauzan Santa dari organisasi pro-demokrasi Dokarim Banda Aceh mengatakan momentum peringatan hari HAM Internasional yang digelar bertujuan mengingatkan pemerintah dan parlemen Aceh, termasuk pemerintah pusat tentang kewajibannya untuk menyelesaikan sejumlah perundangan untuk perlindungan bagi keluarga korban konflik serta mengungkap berbagai dugaan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di provinsi Aceh semasa konflik.
”Yang paling utama, (adalah terbentuknya) perundangan atau Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Persoalan (inilah) yang harus dituntaskan hari ini, sebelum kita lanjutkan ke masa depan. (Hal) ini (akan men)jadi beban di masa depan, kalau tidak (ter)selesai(kan),” ungkap Fauzan.
Fauzan melihat respon cukup positif dari pihak parlemen Aceh yang telah menerima rancangan awal Qanun KKR yang kini dijadwalkan akan segera dibahas di DPR Aceh.
Sebelumnya, pihak pemerintah dan parlemen Aceh menyatakan tekad mereka untuk memperjuangkan terwujudnya perundangan atau Qanun terkait pembentukan KKR serta pengadilan HAM di provinsi Aceh, di tingkat lokal dan nasional.
Aksi damai peringatan hari HAM Internasional tidak hanya digelar di Banda Aceh, namun juga di sejumlah kota-kota penting di tujuh kabupaten kota di provinsi Aceh. Diantaranya Lhokseumawe, Takengon, Meulaboh, Pidie, Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat.
Lebih jauh Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar Muhammad mengatakan, walau pernah ada pengadilan terhadap pelaku kekerasan semasa konflik, namun masih cukup banyak kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang belum terungkap di provinsi Aceh.
“Untuk kasus dengan mekanisme di bawah tahun 2000 dengan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, diantaranya kasus-kasus rumah geudong, kasus Simpang KKA, tragedi Beutong Ateuh dan tragedi Cireucieh Aceh Jaya dan tragedi Alue I Nireh, pihak yang terlibat diduga aparat negara,” ungkap Zulfikar.
Dalam tuntutannya, para aktivis menyatakan bahwa sebelum KKR dan pengadilan HAM terbentuk, mereka juga mendesak pemerintah Aceh agar lebih peduli terhadap masalah-masalah ekonomi dan kesejahteraan serta pendidikan para yatim piatu, janda dan keluarga korban konflik.
Para analis global memperkirakan, sebelum penadatanganan perdamaian 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MOU Helsinki, sekitar 17 ribu warga sipil menjadi korban akibat pergolakan yang pernah mendera Aceh selama sekitar 30 tahun.
Dalam waktu dekat, Aceh akan menjadi tuan rumah konferensi internasional yang menghadirkan sejumlah delegasi negara dan organisasi HAM dunia untuk menghimpun kesaksian dan harapan-harapan para korban konflik Aceh. Dijadwalkan, konferensi juga dihadiri pelopor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang berwenang.
Pakar mengatakan, peringatan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 10 Desember diperkenalkan untuk pertama kali sejak disahkannya Deklarasi HAM oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.