Di depan Istana Negara, Minggu siang, mereka menggelar lapak-lapak lazimnya di pasar tradisional, lengkap dengan payung hitam untuk peneduh, serta gambar-gambar, poster, dan potongan artikel majalah dan surat kabar, yang memberitakan sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat. Alunan musik dangdut sesekali ikut meramaikan suasana.
Pasar itu mereka namakan “Pasar Lupa”, ditujukan kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap “lupa dan mengabaikan” hak dan tuntutan para korban pelanggaran HAM berat, beserta keluarganya.
Koordinator aksi “Pasar Lupa," Yati Andriyani, dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mengatakan kepada VOA, transaksi politik hari ini jelas telah meminggirkan kepentingan rakyat yang jadi korban.
“Transaksi politik inilah yang menyebabkan arti politik terpinggirkan. Jangan-jangan memang ada transaksi politik antara pemerintahan SBY dan parlemen, untuk mengamankan kekuasaan. Kita curiga karena ini (kasus-kasus pelanggaran HAM berat) didiamkan saja.” ungkap Yati.
Setiap payung peneduh lapak masing-masing diberi nama dengan cat putih. Maka berderet peristiwa terbaca; mulai dari kejadian tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, Penembakan Misterius (Petrus), kasus Talangsari, hingga Tragedi Mei dan Semanggi, tahun 1998.
Kontras yang telah mendampingi korban dan keluarganya lebih dari 10 tahun, semakin kehilangan rasa optimis, karena para mantan Jenderal, yang terlibat langsung dalam berbagai operasi di lapangan, sekarang memiliki fraksi di DPR. Kondisi ini sangat disesalkan oleh Yati Andriyani.
“Mereka masih punya kekuatan yang cukup kuat, bahkan mereka punya fraksi di parlemen. Mengapa ini bisa terjadi? Karena memang politik kita memberikan ruang untuk itu, dan tidak pernah ada upaya untuk membongkar peristiwa di masa lalu,” kata Yati.
Berbeda dengan pesimisme para aktivis, keluarga korban masih terus berdoa dan berharap kepada Presiden Yudhoyono.
Ruyati, ibunda dari Eten Karyana, yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998, di Jogja Plasa, Klender, Jakarta Timur, menuturkan kepada VOA,“Sampai sekarang, saya sebagai orangtuanya, ibunya, saya kuat menunggu sampai 12 tahun, Tapi kami tetap menuntut kepada Pak SBY, 'lihatlah kami-kami ini, ibu-ibu yang sudah tua ini masih berjuang di tengah panas dan hujan, demi diselesaikannya kasus ini'”
Sementara itu, salah satu korban peristiwa 65, Saunar Ahmad, berharap pemerintah bersedia merehabilitasi mereka. Saunar dan Mansur, abangnya, sempat menjadi kader PKI, tetapi keburu ditangkap meskipun belum sempat aktif di partai. Mansur tewas dalam kejaran aparat, dan Saunar bersyukur ia masih hidup.
“Supaya kami ini direhabilitasi, diberikan jaminan sosial. Lalu itu dihapuslah Tap MPRS No. 25 (Tahun 1966) dan No. 33 (Tahun 1967), itu kan tidak sah (karena PKI secara politik sudah dibubarkan pemerintah Indonesia). Seharusnya kami menghadap MK lagi untuk menguji materi UU itu,” kata Saunar.
Saunar Ahmad sekeluarga dipaksa pindah dari Padang. Mereka sempat tinggal di Pekanbaru dan Bandung puluhan tahun, hingga akhirnya kembali ke kota Padang tahun 1990-an. Namun, cap sebagai bekas anggota PKI diakuinya sulit dihilangkan.