Aktivis Desak DPR RI Bahas RUU dan Ratifikasi ILO tentang Perlindungan PRT

  • Budi Nahaba

Penandatanganan petisi warga desak pemerintah wujudkan RUU perlindungan PRT mengisi kegiatan Hari Perempuan Sedunia Aceh. (VOA/Budi Nahaba)

Beberapa organisasi pro demokrasi di Aceh hari Minggu (8/3) menggelar serangkaian kegiatan dalam rangka Hari Perempuan Internasional, yang diperingati setiap tanggal 8 Maret oleh seluruh negara di dunia.

Kalangan aktivis Aceh mendesak pemerintah dan parlemen pusat DPR RI segera mewujudkan adanya regulasi nasional khusus dan meratifikasi Konvesi Organisasi Buruh PBB (ILO) 189 tentang perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja migran Indonesia.

Salah seorang Koordinator Peringatan Hari Perempuan Sedunia M Irwandi dari Koalisi Aceh Sehat (KOAS) mengatakan, kegiatan kampanye dilakukan serentak Minggu (8/3) dari Aceh hingga Papua, kegiatan dialog publik salah satunya lebih terkait tentang kebutuhan mendesak adanya regulasi nasional, RUU PRT dan ratifikasi Konvenso PBB (ILO) tentang perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) dan buruh migran Indonesia.

“Selain kegiatan hari ini, ke depan kita akan melakukan sosialisasi lebih besar, melakukan advokasi dan lobi negosiasi dengan pihak parlemen, guna memastikan hak-hak PRT terpenuhi sesuai Konvensi ILO 189,” katanya.

Irwandi menambahkan, konsorsium Peringatan Hari Perempuan Sedunia di motori sejumlah organisasi lokal dan nasional, Kontras, KOAS, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Institut Kapal Perempuan Jakarta.

Kalangan organisasi pro demokrasi mendesak parlemen pusat dan pemerintah lebih pro aktif agar segera membahas RUU dan Meratifikasi Konvensi ILO tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Panitia diskusi juga berhasil menghimpun sekitar seratus tandatangan peserta sebagai wujud desakan dan dukungan kepada pemerintah dan parlemen pusat agar segera membahas RUU dan ratifikasi Konvesi PBB (ILO) tentang perlindungan pekerja rumah tangga.

Pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh Siti Maisarah mengatakan, regulasi nasional cukup mendesak diwujudkan sehingga diharapkan pemenuhan hak-hak serta perlindungan PRT dan kasus-kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia (perempuan), dapat diatasi lebih komprehensif terutama dari berbagai bentuk kejahatan dan praktik kekerasan dan ketidakadilan.

“Di Hari Perempuan Sedunia ini, inisiasi ini perlu memotivasi lebih banyak kalangan untuk mendorong terwujudnya undang-undang ini,” kata Siti Maisarah.

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Aceh mendesak kalangan komisi tenaga kerja Komisi IX DPR RI dan pemerintah pusat dan daerah segera mewujudkan Rencana Undang Undang Perlindungan Pekerja rumah Tangga (PRT) dan Meratifikasi Konvesi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.

Sementara menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, jumlah PRT di Indonesia 2009 diestimasi sebanyak 10 juta-an orang, dan lebih dari 67 persen rumah tangga kelas menengah dan menengah atas mempekerjakan PRT.

Beberapa pengamat sosial mengatakan, PRT di Indonesia rentan terhadap pelecehan dan ekspolitasi, jam kerja berlebihan, upah tidak dibayar, pelecehan fisik dan seksual, kerja paksa, dan menjadi korban kejahatan perdagangan manusia atau berbagai bentuk kejahatan yang diduga terkait praktik perbudakan modern. PRT di Indonesia juga tidak memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan asuransi kecelakaan.

Pada tahun 2009, Orgaisasi Perburuhan PBB (ILO) memperkirakan jumlah PRT di seluruh dunia mencapai 50 juta orang dan kurang lebih 4 juta PRT bekerja di Indonesia. ILO memperkirakan, lebih dari 60 persen dari jumlah PRT di seluruh dunia berasal dari Asia. Mereka datang dari Indonesia, Filipina, Srilanka, Bangladesh, Pakistan, Nepal, dan Vietnam.

Selain diskusi publik, sejumlah organisasi perempuan muslim di Aceh turun ke jalan menggelar dukungan kepada pemerintah Aceh dan pemerintah pusat agar tetap mempertahankan sejumlah Qanun (Perda) syariat yang dinilai relevan melindungi hak-hak perempuan dan HAM di provinsi Aceh.

Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan pemberlakuan sejumlah Qanun Syariat dinilai lebih melindungi hak-hak perempuan, baik dari aspek ekonomi, relasi sosial dan hukum.

“Kita menghormati menghargai persoalan aqidah itu persoalan kita masing-masing. Kita tidak pernah melarang, tetapi kita juga tidak mau melakukan apa yang Tuhan larang, jadi kita bisa hidup rukun dan damai, agar warga toleran dengan perbedaan, tapi juga toleran dengan aturan-aturan syariat,” kata Illiza.

Namun beberapa akktivis mengatakan, beberapa Qanun syariat atau regulasi lokal Aceh perlu dilakukan revisi mendalam, karena dinilai masih cukup diskriminatif, terutama terkait pembatasan-pembatasan yang disertai tindakan-tindakan razia yang oleh petugas pemerintah di lapangan, di antaranya berupa cara berpakaian, duduk di atas kendaraan roda dua dan berbagai bentuk interaksi sosial bagi perempuan di Aceh.