VOA - Banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hingga kini masih belum tuntas. Sejumlah di antaranya bahkan belum menemui titik terang.
Beberapa yang masih belum pupus dari ingatan banyak orang adalah kasus peristiwa G30S-PKI, Timor Timur, Tanjung Priok, dan Talangsari, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, dan Paniai di Papua.
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, mengatakan, sebagai bagian dari proses pemulihan, negara dalam hal ini pemerintah perlu mengakui kebenaran peristiwa terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu.
"Negara juga punya kewajiban untuk mengungkap kebenaran. Butuh diketahui apa yang terjadi sebenarnya," kata Taufik dalam diskusi secara daring yang dilakukan oleh Komnas HAM, Selasa (7/9).
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Taufik, untuk melakukan perbaikan HAM, negara harus memulainya dengan membuat pengakuan atas kesalahan di masa lalu. Tidak hanya itu, hak-hak para korban dan keluarga mereka juga perlu dipenuhi oleh negara.
Taufik mengatakan, dalam pelaksanaan pemenuhan itu, para korban dan keluarga mereka kerap tersandung oleh ketentuan yang tertuang dalam Pasal 35 Ayat 2 Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam pasal itu, korban pelanggaran HAM berat atau ahli warisnya hanya memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi setelah ada amar putusan Pengadilan HAM.
"Semestinya konsepnya tidak begitu. Tapi di dalam undang-undang kita seperti di dalam Pasal 35 Ayat 2 UU Pengadilan HAM No 26 Tahun 2000, ini problem. Kalau hak-hak korban bergantung pada proses hukum. Sementara (penyelesaian) proses hukum diketahui tidak mudah," jelas Taufik.
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya, juga menyoroti hal serupa. Terkait Aceh, katanya, pemerintah harus i mengakui apa yang terjadi di sana terkait konflik bersenjata.
"Negara perlu hadir untuk mengakui peristiwa atau pun kebenaran yang pernah terjadi di masa konflik Aceh. Berhubung tindakan dan penegakan itu masih dalam proses yang sedang ditangani oleh negara, aka ada baiknya negara hadir untuk mengisi ruang pemulihan," katanya yang juga hadir dalam diskusi itu.
KKR merupakan komisi yang bertujuan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. KKR dibentuk oleh Pemerintah Aceh pada 2016. Kini, KKR Aceh telah memasuki periode kedua.
Pada periode pertama, KKR Aceh telah mengumpulkan data 5.264 korban pelanggaran HAM berat saat masa konflik bersenjata. Data-data itu pun telah direkomendasikan KKR kepada pemerintah untuk pemenuhan hak-hak korban. Dua ratus empat puluh lima korban pelanggaran HAM berat di Aceh telah mendapatkan penyelesaian dari pemerintah Aceh pada tahun 2020 untuk diberikan tindakan pemulihan reparasi.
"Kami sedang berusaha meyakinkan pemerintah Aceh agar 5.264 korban yang sudah direkomendasikan secepatnya diambil tindakan untuk dipikirkan penganggaran dalam tahun 2023. Supaya nantinya lebih banyak yang mendapatkan pemulihan melalui reparasi," ungkapnya.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, mengatakan banyak kasus pelanggaran HAM di Aceh yang sampai saat ini penyelesaiannya belum tuntas. Pemerintah, katanya, hanya menangani sejumlah kasus pelanggaran, termasuk tragedi Simpang KKA (Simpang Kraft), Rumoh Geudong, Bener Meriah, dan Tengku Bantaqiah.
"Padahal perdamaian Aceh sudah 17 tahun berlalu tapi itu belum terselesaikan apalagi kasusnya," ujarnya. [aa/ab]