Kasus kekerasan dan penyiksaan hewan di Indonesia bagai mimpi buruk yang kerap berulang. Setelah terungkapnya penyiksaan monyet di Tasikmalaya, anjing yang diseret dengan motor di Jambi, Kuta Selatan, dan Makassar, anjing mati usai diracun di Magelang, serta kucing yang dicekoki miras oleh sekelompok wanita di Padang; kini kasus yang tak kalah mencemaskan terjadi di Tebing Tinggi, Sumatra Utara.
Video seorang perempuan muda yang memaksa seekor kucing untuk merokok viral di dunia maya dan memicu kemarahan publik.
Ketua Animal Defenders Indonesia, Doni Herdaru Tona, mengatakan kekerasan dan penyiksaan terhadap hewan di Indonesia memiliki beragam kualitas serta tingkat kesadisan. Ia menyebut 2023 sebagai tahun neraka untuk kejahatan hewan.
“Tahun 2023 kami menobatkan sebagai neraka untuk kejahatan hewan. Tahun 2023 dengan kuantitas terbanyak yang kami tangani. Belum lagi dengan kejadian-kejadian yang tidak kami tangani karena berbagai alasan. Itu disambung dengan kucing yang dipaksa merokok di Tebing Tinggi,” katanya kepada VOA, Kamis (4/12).
Doni menyayangkan masih terus terjadinya aksi kekerasan dan penyiksaan yang terjadi kepada hewan, yang bahkan kini kerap diunggah ke media sosial. Baik hanya untuk mengundang gelak tawa yang menontonnya, maupun untuk tujuan komersil. Ia khawatir jika hal ini dibiarkan, akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak mencari gelak tawa di atas penderitaan hewan. Jangan bercanda yang tidak-tidak hanya untuk membuat tawa. Harus berbuat yang lebih baik, kita menggunakan medsos dengan bijak dan demi kemaslahatan bersama termasuk hewan,” ujarnya.
Ditambahkannya, apabila penyiksaan terhadap hewan terus dibiarkan bakal memberikan efek buruk terhadap pelakunya.
BACA JUGA: Lagi, Penggerebekan Rumah Jagal: Membuka Peta Perdagangan Daging Anjing di Jawa (Bag 1)“Menyiksa hewan lalu dibiarkan maka pelakunya akan meningkatkan targetnya bisa saja ke manusia yang tidak bisa melawan. Di Indonesia ada kasus remaja berusia 15 tahun membunuh balita hanya karena dia cuma iseng. Sebelumnya dia sering menyiksa hewan mulai dari kucing, katak, dan cicak. Perilaku sadisme terhadap hewan bisa meningkat menjadi korbannya menjadi manusia,” ucapnya.
Ironisnya kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan hewan acap kali berujung dengan perdamaian tanpa ada penegakan hukum untuk memberikan efek jera kepada pelakunya.
Penegakan Hukum terhadap Penyiksa Hewan Tak Efektif
Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Prija Djatmika, mengatakan penegakan hukum untuk kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap hewan kerap tidak efektif di Indonesia. Padahal perlindungan untuk hewan telah tercantum di dalam beberapa aturan salah satunya Pasal 302 KUHP.
“Aturan itu hanya di atas kertas. Pelaksanaannya tidak efektif kecuali perbuatan itu menjadi keresahan publik baru diproses,” katanya kepada VOA, Kamis (4/1).
Lebih jauh Prija menjelaskan perlindungan untuk hewan di Indonesia dari ancaman kekerasan dan penyiksaan tidak terjamin dan tak efektif. Kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap hewan kerap diselesaikan dengan cara keadilan restoratif atau perdamaian. Penerapan keadilan restoratif kasus penyiksaan hewan itu dilakukan karena tidak menimbulkan keresahan publik.
“Perlindungan hukum terhadap kekerasan terhadap hewan ada pidananya. Penerapan hukum tidak efektif karena dihentikan di tengah jalan lantaran ada perdamaian kecuali pelapor tak mau berdamai. Perlindungan untuk hewan di Indonesia dari ancaman kekerasan dan penyiksaan tidak terjamin, kecuali menimbulkan keresahan publik baru ditangani serius,” jelas Prija.
Menyiksa Hewan, Isyarat Gangguan Kesehatan Mental?
Psikolog sekaligus Direktur Minauli Consulting, Irna Minauli, mengatakan rendahnya kesadaran untuk memperlakukan hewan secara tepat menjadi salah satu penyebab banyak orang melakukan kekerasan terhadap binatang.
“Mereka sering melakukannya sekadar sebagai bahan bercanda dan bersenang-senang. Pada beberapa budaya yang masih memakan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing membuat semakin berkurangnya empati terhadap hewan-hewan tersebut,” katanya kepada VOA, Jumat (5/12).
Irna menjelaskan banyak orang yang tidak menyadari bahwa bertindak kejam pada hewan merupakan suatu pertanda yang sangat jelas dari adanya masalah kesehatan mental. Perilaku ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak dan sering luput dari perhatian orang dewasa. Padahal hal itu merupakan salah satu ciri dari gangguan perilaku (conduct disorder), apabila tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi antisocial personality disorder atau dikenal sebagai psikopat.
“Mereka kurang memperlihatkan empati sehingga tidak memiliki rasa bersalah ketika melakukan kekerasaan terhadap hewan. Itu sebabnya perilaku ini sering dikaitkan dengan dark triad of narcissim, machiavelianism dan antisocial personality disorder. Selain itu, mereka yang mengalami borderline personality disorder juga berpeluang melakukan kekerasan terhadap hewan,” jelasnya.
Menurut Irna hal itu dikaitkan dengan kecenderungan untuk bersikap impulsif. Ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan kemarahannya secara tiba-tiba sering mengarahkannya pada hewan selain pada manusia.
Kemudian untuk jangka panjang, perilaku kekerasan terhadap hewan ini juga akan berpengaruh terhadap hubungan seseorang dengan orang lain dan berpeluang untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau kekerasan dalam rumah tangga.
“Mereka juga berpeluang melakukan tindak kriminal lain seperti pemerkosaan, child molestation, dan tindak kekerasan lainnya. Mereka yang menikmati kekerasan terhadap hewan tidak ubahnya seorang monster,” pungkas Irna. [aa/em]