Lebih dari 50 elemen masyarakat dan pegiat HAM yang tergabung dalam Solidaritas untuk Demokrasi Jawa Timur (Solid Jatim), mengeluarkan pernyataan sikap terkait penyerangan sekelompok masyarakat di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Pemerintah dan aparat Kepolisian diminta menghormati hak asasi manusia, dan hukum yang melindungi kebebasan masyarkat untuk berkumpul dan berpendapat.
Penyerangan terhadap kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sabtu (16/9) lalu, menjadi bukti demokrasi di Indonesia sedang memasuki kondisi darurat. Hal ini terungkap dalam aksi sekaligus pernyataan sikap puluhan elemen masyarakat, di kantor LBH Surabaya, Senin (18/9).
Perwakilan LBH Surabaya Abdul Fatah mengatakan, pelarangan, penyerangan dan pembubaran diskusi pelurusan sejarah tahun 1965 di kantor YLBHI-LBH Jakarta, merupakan bentuk pengerdilan demokrasi dan kebebasan hak asasi manusia dalam berkumpul dan berpendapat.
“Masyarakat Jawa Timur yang tergabung dalam Solid Jatim ini, mencoba untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah bahwa demokrasi itu penting dan LBH itu adalah lokomotif gerakan demokrasi di Indonesia, karena tahun 1970 didirikannya LBH untuk itu, dengan dicederainya dan diserangnya kantor LBH dan YLBHI, ini menjadi cacat demokrasi di Indonesia,” kata Abdul Fatah, Perwakilan LBH Surabaya.
Menurut Ketua DPD Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Jawa Timur, Henry Rusdianto, penyerangan dan intimidasi oleh sekelompok masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kabar atau berita hoax (bohong)yang beredar di masyarakat, sehingga memunculkan gejolak yang dilandasi kebencian.
“Masyarakat kita yang masih awam hukum, yang awam soal isu-isu seperti itu mudah sekali untuk diprovokasi,” kata Ketua DPD Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Jawa Timur, Henry Rusdianto.
Perwakilan Pusat Hukum dan HAM (Pusham) Surabaya, Johan Avie menegaskan, pelarangan dan penyerangan pada acara diskusi di kantor YLBHI-LBH Jakarta, seharusnya tidak perlu terjadi bila polisi bersikap tegas mengamankan dan menghalau kelompok masyarakat yang berniat melakukan pembubaran.
Keterliban polisi dalam upaya pembubaran ini, menurut Johan Avie, justru melanggar aturan yang dikeluarkan Kapolri, yang mengharuskan personil Kepolisian mengedepankan HAM dalam menangani sebuah masalah.
“Seluruh aturan yang mengatur mengenai hak asasi manusia, baik itu di ranah Undang-Undang maupun Peraturan Kapolri, itu sudah jelas bahwa acara kemarin itu acara yang tidak memerlukan izin, dan merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat, sehingga tidak bisa dengan alasan apa pun dilarang atau dibubarkan,” kata Johan Avie, Perwakilan Pusham Surabaya.
Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Fatkhul Khoir mengatakan, upaya pelurusan sejarah seharusnya menjadi tugas pemerintah, yang sebelumnya telah menerima rekomendasi Komnas HAM untuk mengungkap tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Fatkhul Khoir mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmen dan janjinya menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, bukan malah membiarkan kelompok tertentu menghalangi pelurusan sejarah dengan melakukan pelanggaran HAM.
“Watak rezim memang anti terhadap hak asasi manusia, ini juga bertentangan dalam konteks peristiwa 1965 ini kan sudah diselesaikan, Komnas HAM kan sudah mengeluarkan rekomendasi terkait kasus 1965, apalagi dalam RPJMN yang dituangkan oleh Jokowi di than 2014-2019. Ini kan ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang akan diselesaikan, namun faktanya sampai hari ini belum ada upaya yang serius, bagaimana tujuh kasus pelanggaran HAM yang sudah diselesaikan Komnas HAM ini, diselesaikan oleh negara. Justru yang ada kemudian, acara-acara yang mencoba untuk kembali membongkar, atau mengungkap sejarah peristiwa masa lalu, direpresi sedemikian rupa dan negara tidak merespon apa pun. Ada kecenderungan bahwa negara membiarkan,” imbuh Fatkhul Khoir, Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya.
Your browser doesn’t support HTML5
Abdul Fatah meminta Presiden Joko Widodo memberi jaminan keamanan bagi warga negara untuk berkumpul dan berekspresi, dengan tidak membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pencederaan demokrasi terus berlangsung.
“Kami minta jaminan kepada Presiden supaya ada rasa aman, hak atas rasa aman, hak untuk berkumpul, hak untuk berekspresi, hak untuk ikut berpartisipasi, untuk membenahi negara ini dengan proses-proses diskusi, proses-proses seminar yang konstruktif itu tetap hadir di Indonesia. Dan juga kami pun mengingatkan Kapolri, untuk mengingatkan jajaran di bawahnya supaya ketika di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan koridor hukum, tidak ada penafsiran tunggal yang kemudian mengakibatkan hal yang demikian,” kata Abdul Fatah, Perwakilan LBH Surabaya. [pr/ab]