Selama tiga minggu terakhir, Shirali Abdurehim, seorang penjual madu di Istanbul yang berasal dari komunitas Uyghur, ditahan di pusat penahanan imigrasi.
Abdurehim, ayah dari sembilan anak, tinggal di Turki bersama istrinya sejak tahun 2013 sebagai pengungsi, setelah melarikan diri dari penindasan di wilayah otonomi Uyghur di Xinjiang, barat laut China. Ia adalah salah seorang dari sedikitnya 12 warga Uyghur yang ditahan dalam beberapa pekan terakhir, menurut para tahanan, pengacara, dan pembela hak asasi manusia.
VOA juga telah melihat setidaknya empat unggahan di situs media sosial Facebook yang menyerukan pembebasan para anggota keluarga etnis tersebut sejak akhir pekan lalu.
“Agen Turki datang ke kediaman saya pada tanggal 4 Juli dan mengatakan, saya dituduh bersekongkol dengan orang asing lain dari Uzbekistan, untuk membuat dan menjual paspor Turki palsu,” kata Abdurehim, 39, kepada VOA melalui wawancara telepon.
“Mereka sangat sopan ketika membawa saya untuk diinterogasi. Awalnya mereka mengatakan akan segera melepaskan saya setelah diinterogasi,” ujarnya.
BACA JUGA: Lawatan Diplomat Turki ke Wilayah Uyghur di China Picu KekhawatiranKeluarga terancam diusir
Selama interogasi Abdurehim mengatakan bahwa ia membantah tuduhan itu, dan menyebutkan tuduhan itu dibuat oleh pemerintah China atau agen China di Turki.
“Setelah interogasi, mereka mengatakan saya tidak bisa kembali dan bahkan memindahkan saya ke pusat penahanan imigrasi, tempat saya bergabung dengan enam warga Uyghur lainnya yang baru-baru ini ditangkap,” katanya. “Istri dan sembilan anak saya menunggu saya pulang. Mereka tidak bisa bertahan hidup tanpa saya. Kini mereka terancam digusur dari apartemen yang kami sewa.”
VOA telah mengirim email ke Departemen Imigrasi Kementerian Dalam Negeri Turki, untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai kasus Abdurehim dan warga Uyghur lain yang ditahan dalam beberapa pekan terakhir. Pihak kementerian belum memberikan tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Istri Abdurehim, yang meminta agar nama depannya tidak disebutkan untuk melindungi kerabatnya di Xinjiang, mengatakan keluarganya menjalani kehidupan sehari-hari dengan mengandalkan penghasilan dari penjualan madu suaminya.
“Pemilik rumah meminta uang sewa enam bulan di muka, namun kami tidak mampu membayarnya. Karena suami saya ditahan tanpa batas waktu, kami juga kesulitan memberi makan untuk keluarga,” kata sang istri.
Kaos bendera Turki
Abdurehim mengatakan, masalah dimulai pada tahun 2010 ketika dia ditangkap di Urumqi, ibu kota Xinjiang, oleh otoritas China.
“Saya ditahan selama berbulan-bulan pada tahun 2010 karena mengenakan kaos berbendera Turki,” kata Abdurehim. “Itu adalah masa ketika banyak warga Uyghur yang merasa bersyukur atas pernyataan Erdogan pada tahun 2009.”
Kerusuhan pecah di Urumqi pada bulan Juli tahun itu di tengah protes atas kelambanan pemerintah, menyusul laporan pembunuhan dan cederanya warga Uyghur oleh warga China di provinsi Guangdong. Protes yang awalnya berlangsung damai, kemudian meningkat menjadi bentrokan ketika polisi bersenjata China turun tangan. Selanjutnya, warga Uyghur menghadapi tuduhan menyerang individu China yang tidak bersenjata, akibatnya terjadi penangkapan, penghilangan, dan penahanan terhadap sejumlah warga dari etnis Uyghur.
Erdogan menyebut tindakan China terhadap warga Uyghur sebagai “genosida,” sebuah sentimen yang bergema di komunitas Uyghur.
BACA JUGA: China Mendapat Teguran Keras di PBB Terkait Catatan HAMMengungsi di Turki
Turki merupakan salah satu tempat yang menampung komunitas diaspora Uyhgur terbesar di luar China, dengan jumlah populasi komunitas itu diperkirakan mencapai 50.000 hingga 70.000 individu, menurut kelompok Uyghur di negara tersebut.
Sejak 1950-an, Turki telah menjadi tujuan bagi para warga Uyghur yang kabur dari apa yang mereka sebut sebagai penindasan kejam oleh pemerintah China, di mana termasuk di dalamnya muncul dugaan genosida, penahanan massal sewenang-wenang yang berdampak pada lebih dari satu juta orang, kerja paksa, sterilisasi paksa, penyiksaan dan sejumlah tindakan pelanggaran lainnya.
China telah menyangkal semua tuduhan tersebut, namun dalam beberapa tahun terakhir, AS dan sejumlah negara-negara Barat secara resmi telah melabeli kebijakan baru China dan perlakuan terhadap komunitas Uyghur di Xinjiang sebagai genosida. Kantor Hak Asasi Manusia PBB telah mengatakan bahwa sejumlah tindakan yang dilakukan pemerintah China terhadap Uyghur dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. [ps/jm/rs]