Kapolri Jenderal Idham Azis telah menerbitkan lima surat telegram sebagai panduan personelnya dalam menangani kasus hukum di tengah wabah corona di Indonesia. Salah satunya adalah telegram tentang perkara kejahatan siber. Surat ini berisi tentang kemungkinan pelanggaran atau kejahatan yang terjadi, di antaranya penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah, serta penyebaran informasi bohong.
Kendati demikian, Kabag Penum Divisi Humas Polri Asep Adi Saputra menegaskan akan mengedepankan upaya pencegahan sebelum mengambil tindakan hukum terhadap masyarakat di tengah wabah Covid-19.
"Secara keseluruhan surat telegram ini dimaksudkan untuk memberi pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran COVID-19. Khususnya dalam penegakan hukum yang diemban polisi reserse kriminal dan jajarannya," jelas Asep Adi Saputra dalam konferensi video, Senin (6/4).
Your browser doesn’t support HTML5
Asep menambahkan opsi penahanan terhadap orang yang melanggar hukum atau melakukan kejahatan tetap akan dilakukan polisi. Namun, penyidik akan mempertimbangkan opsi tersebut terlebih dahulu sebelum menahan seseorang.
Kritik Masyarakat Sipil
Direktur Riset Setara Institute Halili menilai rencana pemidanaan dengan pasal penghinaan presiden dan pejabat negara merupakan hal yang berlebihan. Di samping itu, penerapan aturan ini akan membuat penanganan COVID-19 yang dilakukan pemerintah menjadi kontraproduktif di masyarakat.
"Kita khawatir dengan keluarnya telegram Kapolri ini, bukan saja memberangus, tapi menjadi pembatasan yang terlalu ketat bagi kebebasan berekspresi," jelas Halili kepada VOA, Selasa (7/4).
Halili menambahkan pemerintah semestinya tetap memberikan kebebasan terhadap masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan penanganan COVID-19. Apalagi, kata dia, pemerintah telah menganggarkan dana yang cukup besar yakni sekitar Rp400 triliun untuk wabah ini.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudi juga menyayangkan terbitnya pasal-pasal yang berpotensi memberangus kebebasan berekspresi dan kritik terhadap penguasa atas nama penindakan ujaran kebencian dan informasi bohong. Selain itu, kata Ade, pasal 207 KUHP yang menjadi acuan Kapolri, dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 telah menjadi delik aduan.
"Dengan berubahnya delik menjadi delik aduan, maka pasal ini hanya berlaku pada konten-konten yang bersifat personal bukan lagi martabat secara institusi. Sehingga kritik atas kinerja pejabat publik tidak bisa dikategorikan ke dalam pasal 207 KUHP," jelas Ade kepada VOA, Selasa (7/4/2020).
Ade mendesak kepolisian untuk membatalkan surat edaran tentang penegakan hukum terkait opini yang dianggap informasi bohong dengan muatan penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara. Menurutnya, polisi lebih mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan proses hukum yang adil dan tidak berpihak (Due Process of Law) dalam melaksanakan tugas pada masa pandemi COVID-19. [sm/ab]