Timbunan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) (B3) di markas militer, sampah plastik di sungai Brantas, dan 70 persen air minum masyarakat yang tercemar bakteri E.coli adalah beberapa catatan penting kondisi lingkungan hidup di Jawa Timur saat ini.
Muhammad Kholid Basyaiban, seorang aktivis dari LSM lingkungan ECOTON, mengatakan, Jawa Timur saat ini telah menjadi toilet atau tempat pembuangan berbagai jenis limbah, mulai dari rumah tangga hingga industri. Ia menegaskan air, tanah dan udara di provinsi itu sudah tidak lagi aman bagi kesehatan masyarakat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kita membawa tema, Bumi Jatim Bukan Toilet. Jadi, temuan limbah B3 di markas militer yang ada di Jawa Timur. Kasus sampah impor, jadi sampah impor ini memberikan dampak udara di Jawa Timur mengandung dioksin dan mikroplastik. Jadi, itu akan sangat berbahaya dan menimbulkan penyakit kronis pada masyarakat, khususnya di Jawa Timur,” kata Muhammad Kholid Basyaiban.
Seruan dan dorongan kepada pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota, telah dilakukan untuk mengingatkan dan mendesak pentingnya penyelamatan lingkungan. Namun, menurut Kholid, pemerintah justru bersikap abai dengan membiarkan pencemaran dan perusakan lingkungan terus terjadi.
“Agar menyadarkan bahwa Pemprov Jawa Timur harus segera melakukan pembenahan terkait pengelolaan lingkungan hidup yang ada di Jawa Timur. Dan khususnya, kita juga menuntut kepada Pemprov Jawa Timur untuk segera mengalokasikan anggaran-anggaran yang selama ini tidak penting bagi dinas-dinas yang lain. Jadi, yang penting itu untuk sekarang pengembangan untuk pengelolaan lingkungan hidup yang ada di bumi Jawa Timur harus segera ditindak lanjuti agar lebih baik lagi,” jelasnya.
Ketua Umum DPN Koalisi Indonesia Lestari (KAWALI), Puput TD Putra, mengatakan kerusakan lingkungan paling besar di Indonesia terjadi akibat aktivitas ekstraktif minyak bumi dan batu bara serta penggundulan hutan akibat alif fungsi lahan.
Puput mengatakan, aturan yang mengharuskan pengusaha tambang melakukan reklamasi atau pemulihan lahan yang dieksploitasi tidak ditaati. Ia mencontohkan 350 hektare lahan bekas tambang di Sumatera Selatan yang masih belum ditutup atau direklamasi, serta lahan galian tambang yang banyak ditemukan di Pemalang, Batang, serta Jepara.
“Sebetulnya kan sudah ada aturannya, mereka harus melakukan atau membuat deposit sebelum melakukan pertambangan. Nah ini juga problem yang kami ketahui, ketidak tegasan pemerintah akhirnya tidak terjadi proses reklamasi walaupun sudah ada deposit. Jadi, ada indikasi ini ada permainan antara pengusaha, pelaku tambang ini dengan pemerintah, ada pembiaran,” jelasnya.
Masih tingginya ketergantungan terhadap energi fosil, kata Puput, menunjukkan pemerintah tidak serius mengembangkan energi terbarukan. “Sampai saat ini saya melihat tidak terjadi perbaikan atau pembaharuan terhadap agenda untuk energi terbarukan. Banyak bekas-bekas galian tambang itu menjadi masalah juga terhadap kerusakan lingkungan dan dampaknya ke masyarakat,” komentarnya. [pr/ab]