Aktivis Lingkungan: Kebijakan Pengadaan Listrik Tidak Ramah Lingkungan

  • Petrus Riski

Rahma Sofiana Media Officer Greenpeace Indonesia menunjukkan alat deteksi polutan terkait bahaya polusi PLTU batu bara (Foto: VOA/Petrus Riski).

Proyek pengadaan listrik 35.000 Mega Watt (MW) dipersoalkan oleh aktivis lingkungan hidup Grenpeace Indonesia, karena dianggap membahayakan kesehatan manusia akibat polusi udara yang dihasilkan.

Organisasi lingkungan hidup menyoroti kebijakan pemerintah yang akan membangun banyak pembangkit listrik, kebanyakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dengan memanfaatkan energi dari batu bara, yang dinilai menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Indonesia. Pembangunan PLTU itu untuk memenuhi target 35.000 MW.

Proyek pengadaan listrik 35.000 Mega Watt (MW) yang direncanakan pemerintah selama kurun waktu lima tahun (2014-2019) dipersoalkan oleh aktivis lingkungan hidup Grenpeace Indonesia, karena dianggap membahayakan kesehatan manusia akibat polusi udara yang dihasilkan.

Rahma Sofiana, Media Officer Greenpeace Indonesia mengatakan, hasil penelitian yang dilakukan Harvard University dan Greenpeace Indonesia berdasarkan pemodelan atmosfir yang menghitung emisi PLTU batu bara, disebutkan bahwa polusi PLTU batu bara menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa per tahun.

“PLTU batu bara itu mengeluarkan sejumlah polutan berbahaya, salah satunya adalah PM 2,5. PM 2,5 ini ukurannya sangat kecil, sangat-sangat kecil, bisa masuk ke dalam aliran darah kita, bisa masuk ke dalam sistem di jantung, kemudian menyebabakan berbagai penyakit pernapasan. Penyakit pernapasan ternyata cukup serius bukan cuma ISPA, atau flu batuk seperti biasa, tapi ternyata bisa juga seperti kanker paru-paru, kemudian penyakit jantung, paru-paru kronis, kemudian jantung iskemik, kemudian asma,” kata Rahma Sofiana.

Selain polutan berbahaya PM 2,5 ada juga zat-zat lain seperti SO2, NOx dan zat berbahaya lainnya, yang sebarannya bisa mencapai radius 500 kilometer dari sumber polusi. Dari 117 PLTU yang akan dibangun di seluruh Indonesia, 60 persen merupakan pembangkit listrik yang membutuhkan batu bara.

Greenpeace Indonesia, kata Rahma, mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan energi listriknya, dengan lebih mengedepankan pemakaian energi terbarukan yang ramah lingkungan, dibandingkan menggunakan energi fosil yang tidak ramah lingkungan.

“Kalau dilihat dari porsi 23 persen ada, 23 persen dari 35.000 MW itu ada. Nah yang ingin didorong oleh kita, sebenarnya itu bisa lebih ditingkatkan lagi, mungkin gak usah muluk-muluk dulu, mungkin bikinlah 25 (persen), mungkin nanti tahun depan naik lagi, naik lagi, jadi ada peningkatan terus,” kata Rahma Sofiana, Media Officer Greenpeace Indonesia.

Sementara itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto mengatakan, proyek pengadaan energi listrik 35.000 MW oleh pemerintah diduga hanya kedok untuk melindungi kelangsungan hidup industri ekstraktif batu bara yang banyak merusak lingkungan.

“Proyek ini, satu, dia dipakai untuk melindungi kepentingan industri ekstraktif batu bara. Kita tahu bahwa harga batu bara di dunia sekarang sedang turun. Jadi satu-satunya hal yang bisa dipakai oleh industri ekstraktif untuk tetap bertahan adalah menggunakan hasilnya, menggunakan batu baranya untuk kepentingan domestik, dalam hal ini dipakai untuk PLTU,” kata Rere Christanto.

Rere menambahkan, pemerintah perlu terbuka untuk menyebutkan kebutuhan listrik nasional yang sebenarnya, termasuk kebutuhan bagi rakyat kecil. Rere menduga pemaksaan pembangunan PLTU batu bara hanya untuk memenuhi kebutuhan industri besar, yang seringkali tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Your browser doesn’t support HTML5

Aktivis Lingkungan Kritisi Kebijakan Pengadaan Listrik 35.000 MW Tidak Ramah Lingkungan

“Jangan-jangan kita selama ini mensubsidi saja industri-industri besar dengan membangun PLTU itu, dengan membangun pembangkit listrik yang banyak-banyak ini, sebetulnya dia tidak terlalu banyak dipakai oleh rakyat, tetapi lebih banyak dipakai oleh industri-industri. Kalau itu yang terjadi, maka seharusnya menjadi dorongan yang memaksa industri juga, memikirkan kepentingan energinya sendiri, tidak melulu harus kemudian mencari subsidi dari negara,” imbuh Rere. [pr/lt]