Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan tiga poin penting yang perlu dilakukan oleh semua pihak guna mengatasi krisis iklim dalam acara COP ke-27 di Sharm El Sheikh, Mesir, beberapa waktu lalu.
Pertama, katanya, guna mengatasi krisis iklim ini, semua pihak harus mengedepankan kerja sama dan kolaborasi. Ma’ruf menekankan, dalam forum internasional kali ini sangat penting untuk mengedepankan implementasi. Pasalnya, ujar Ma’ruf, satu tahun berlalu sejak COP ke-26 di Glasglow, belum ada pencapaian yang signifikan dalam upaya mengatasi krisis iklim dan dampaknya.
“Untuk itu, COP ke-27 harus dimanfaatkan tidak hanya untuk memajukan ambisi, namun juga implementasi.Termasuk pemenuhan dukungan dari negara maju, kepada negara berkembang,” ungkap Wapres.
Kedua, ia juga menekankan bahwa semua negara harus bisa menjadi bagian dari solusi dan berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang dielaborasi melalui semangat burden sharing, dan meminimalisir semangat burden shifting.
Lanjutnya, Indonesia juga terus berupaya mengambil langkah kongkret dalam mengatasi iklim tersebut. Hal ini, katanya ditunjukkan dengan meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia menjadi 31,8 persen dengan kemampuan sendiri, dan 43,20 persen degan dukungan internasional.
“Peningkatan ini selaras dengan perkembangan signifikan kebijakan antara lain, perluasan konservasi dan restorasi alam, penerapan pajak karbon yang mencapai Forestry and Other Land Use ( FOLU) net-sink 2030, pengembangan ekosistem kendaraan listrik serta inisiasi program biodiesel B40. Selain itu, untuk memastikan pendanaan transisi energi, Indonesia juga telah meluncurkan country platform for energy transition mechanism,” jelasnya.
Meski begitu, kata Wapres, semua upaya Indonesia ini perlu disertai dukungan internasional yang cukup jelas, termasuk dalam hal penciptaan pasar karbon yang efektif dan juga berkeadilan, serta adanya investasi untuk transisi energi dan pendanaan untuk aksi iklim.
“Sebagai presiden G20 Indonesia terus mendorong pemulihan hijau serta aksi iklim yang kuat dan inklusif. Ke depan melalui kekuatan ASEAN tahun 2023, Indonesia akan terus memberikan perhatian pada penguatan aksi iklim. Kita harus mengambil langkah kongkret, dan memperkuat kolaborasi berdasarkan dialog dan kepercayaan,” paparnya.
Solusi Palsu
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Puspa Dewi menyayangkan pidato Wapres Ma’ruf Amin yang belum memiliki skema jelas untuk menyelamatkan rakyat dari krisis iklim.
WALHI, ujar Puspa, menilai bahwa pidato yang dipaparkan oleh Wapres masih merupakan skema business as usual. Selain itu, katanya, dalam pidatonya Wapres juga tidak menyinggung kondisi terkini dan dampak krisis yang dialami oleh rakyat Indonesia saat ini, yang menurutnya penting untuk diketahui oleh dunia.
Ambisi penurunan emisi yang disebutkan oleh Ma’ruf dalam pidatonya tersebut menurut Puspa juga merupakan ambisi tanpa disertai aksi yang nyata di lapangan.
“Kenapa? Karena pertama, basis dari munculnya angka tersebut itu juga tidak jelas, karena kita kalau melihat pada komitmen sebelumnya yang hanya 29 persen itupun belum tercapai, kemudian pemerintah Indonesia menaikkan persentase tersebut tanpa kemudian ada kejelasan, atapun tidak merujuk pada peta jalan pengurangan emisi gas rumah kaca yang secara adil dan berkelanjutan,” ungkap Puspa.
“Kami melihat pidatonya Wapres itu masih terjebak dengan menyampaikan solusi-solusi iklim palsu yang tidak berkelanjutan, dan dia masih berdampak terhadap ancaman kerusakan lingkungan, terhadap perampasan wilayah kelola rakyat dan juga terhadap perampasan terhadap hak rakyat , hak korban dampak dari krisis iklim hari ini yang terjadi,” kata Puspa.
Sementara itu, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI Fanny Tri Jambore menyoroti komitmen pemerintah dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik yang menurutnya bagaikan sebuah ironi. Pasalnya, katanya, sumber listrik yang akan menjadi tenaga dari kendaraan listrik tersebut masih berasal dari energi fosil, yang juga bisa menyumbang peningkatan emisi gas rumah kaca.
“Dalam RUPTL, PLN menyebut bahwa tahun 2021 kemarin hampir 259 juta ton gas emisi rumah kaca di Indonesia. Tahun 2030 PLN memproyeksikan itu akan meningkat sampai 334 juta ton, artinya masih cukup besar emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembangkit listrik kita yang akan dipakai oleh kendaraan lsitrik ini,” jelas Fanny.
Hal tersebut diperparah dengan perluasan tambang nikel yang merupakan bahan mineral utama untuk membuat baterai bagi kendaraan listrik tersebut. Menurutnya, perluasan konsesi tambang nikel tersebut mengancam ekosistem yang akan menangkap karbon di tanah air. Sejauh ini, katanya, diperkirakan 900 ribu hektare kawasan hutan sudah diperuntukkan untuk konsensi pertambangan nikel.
BACA JUGA: China Tegaskan Komitmen Lawan Perubahan Iklim di COP27“Dari 900 ribu hektare ini, 600 ribu hektarenya itu ada di dalam kawasan hutan. Kalau seluruh wilayah yang direcanakan diberikan kepada konsesi pertambanagan nikel, kami memperkirakan 83 juta ton emisi gas rumah kaca itu akan lepas hanya dari perubahan ekosistemnya saja,” tutur Fanny.
Lebih jauh, Manajer Kampanye/Delegasi COP27 WALHI Parid Ridwanuddin menyatakan bahwa pidato Ma’ruf Amien dalam COP ke-27 kali ini tidak memotret bagaimana dampak krisis iklim yang utamanya dialami oleh golongan masyarakat akar rumput.
Parid menjelaskan, banyak masyarakat yang berada di wilayah pesisir harus berhadapan dengan berbagai persoalan seperti desa yang tenggelam oleh air laut. Menurutnya, negara selama ini tidak hadir guna mengatasi permasalahan tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5
“WALHI sepanjang empat tahun terakhir mencatat ada lebih dari 5.400 desa pesisir yang tenggelam karena kenaikan air laut yang terjadi sepanjang 2017-2020. Ada desa yang setiap tahun terendam, dan ada desa baru yang tidak terendam kemudian menjadi terendam. Jadi ada peningkatan jumlah yang signifikan sebetulnya,” ungkap Parid.
Selain itu, banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang terancam tenggelam. Ia menyebut, Pulau Pari yang lokasinya berdekatan dengan Jakarta sudah tenggelam 11 persen dari luasan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ancaman yang sangat tinggi oleh kenaikan air laut yang disebabkan oleh krisis iklim.
BACA JUGA: COP27 Dibuka, Kompensasi Iklim bagi Negara Rentan Resmi Jadi Agenda Diskusi“Hal-hal semacam ini luput di dalam, atau entah sengaja dilewat oleh wapres di dalam pidatonya. Padahal saya kira kita penting menunjukkan adanya keterancaman , adanya situasi buruk di Indonesia terutama yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat bawah,” kata Parid.
Menurut Parid, Indonesia sebagai negara besar sebenarnya memiliki posisi yang kuat dalam hal negosiasi terkait krisis iklim. Maka dari itu, seharusnya Indonesia yang saat ini sedang menghadapi dampak buruk dari berbagai krisis iklim ini perlu memberikan perhatian lebih serius pada hal itu dalam forum global.
“Seharusnya pemerintah bisa memimpin substansi. Jadi kalau Indonesia itu punya posisi penting di dalam forum Internasional seperti G20 atau COP 27 maka kekuatan Indonesia sebagai negara kepulauan itu dan kemudian kepentingan masyarakatnya yang menghadapi dampak buruk krisis iklim itu harusnya menjadi satu hal penting di dalam negosiasi dimana keselamatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan di Indoensia menjadi satu hal ynag penting di dalam negosiasi tersebut,” pungkasnya. [gi/ab]