Presiden Joko Widodo Rabu (23/10) telah melantik I Gusti Ayu Bintang Darmavati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menggantikan Yohana Yembise. Ia dilantik bersama 37 menteri dalam kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024 di Istana Negara Jakarta.
I Gusti Ayu Bintang Darmavati merupakan istri dari mantan Menteri Koperasi dan UMKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, yang menjabat pada masa jabatan pertama Jokowi.
Perempuan kelahiran Bali 24 November 1968 ini juga pernah menjadi Ketua Bidang Manajemen Usaha Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dan Ketua Bidang II Penggeral PKK serta Ketua Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga Besar OASE Kabinet Kerja. Dia sempat menjabat sebagai Ketua Pengurus Provinsi Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMS) Bali periode 2015-2019.
I Gusti Ayu Bintang Hanya Dikenal di Bali
Nama I Gusti Ayu Bintang Darmavati atau yang akrab dipanggil Bintang ini sudah tidak asing lagi bagi para aktivis perempuan di Bali. Ketua LSM Bali Sruti-The Voice of Women in Bali, Luh Riniti Rahayu menceritakan ia bersama aktivis lainnya mengenal sosok Bintang sejak ia menjadi ibu Walikota Kota Denpasar dan berlanjut sebagai istri Wakil Gubernur Bali.
Menurut Luh Riniti Rahayu, ia mengenal Bintang juga karena selama ini dia menjabat sebagai Ketua Organisasi Wanita Hindu Indonesia untuk Bali. I Gusti Ayu Bintang kata Luh Riniti memang bukan berasal dari kalangan aktivis tetapi kepeduliannya terhadap perempuan dan anak itu terlihat ketika ia mempengaruhi kebijakan-kebijakan.
“Misalnya bagaimana beliau mendorong para perempuan dalam berkesenian menjadi penabuh, biasanya penabuh adalah laki-laki jadi penabuh gamelan di Bali itu laki-laki tetapi ibu Bintang membuat terobosan bahwa penabuh perempuan juga bisa akhirnya sekarang sudah biasa ada penabuh perempuan di Bali,” ungkap Luh Riniti.
Luh Riniti mengakui memang kiprah I Gusti Ayu Bintang tidak langsung terlihat seperti aktivis tetapi kiprahnya terlihat pada kebijakan-kebijakan saat suaminya menjadi walikota seperti mendorong kota Denpasar menjadi ramah anak dan bagaimana membantu para aktivis untuk melakukan pendampingan.
Luh Riniti hanya berharap agar sang menteri dapat memajukan kesetaraan dan perlindungan terhadao anak di Indonesia. Dia juga mendesak agar kementerian PPPA dibawah kepimpinan I Gusti Ayu Bintang dapat mendorong kembali Undang-undang PKS masuk menjadi Prolegnas dan mengawalnya sampai ketok palu.
Berbeda dengan aktivis perempuan di Bali. Di Jakarta, sosok menteri pemberdayaan dan perlindungan anak yang baru ini justru tidak terlalu dikenal. Salah satunya disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia.
Koalisi Perempuan Indonesia Terkejut dengan Penunjukkan Menteri PPPA
Dian Kartika Sari merasa terkejut dengan terpilihnya I Gusti Ayu Bintang sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak karena selama ini suaranya tidak pernah terdengar ketika muncul isu kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Meski demikian, lanjut Dian, yang penting sebagai seorang menteri ia memiliki kekuatan managerial untuk menggerakan internal kementeriannya supaya bisa menjalankan target-target pembangunan.
Walaupun Menteri PPPA itu tidak memiliki perspektif gender, Dian yakin sepanjang ia mau terbuka pada masukan masyarakat dan cepat belajar maka tidak akan menjadi masalah. Tetapi sebaliknya jika ia tertutup dan hanya mendengarkan kelompok-kelompok yang radikal itu akan menjadi masalah.
Dian belum bisa menilai penunjukan menteri PPPA yang baru ini merupakan sebuah kemunduran atau kemajuan.
“Sekarang ibu I Gusti , dia adalah perempuan Indonesia bagian barat tapi kulturnya sangat timur, kulturnya sangat patriarki. Peran perempuan di Bali itu sangat minoritas. Perempuan itu ditempatkan sebagai orang yang melayani kebutuhan-kebutuhan ritual, sesaji semua kerjaannya perempuan, perempuan tidak mendapatkan warisan, keterpinggirannya sangat dahsyat perempuan Bali itu. Dengan pengalamannya itu saja beliau bisa mengekspresikan dan kemudian mendorong pentingnya kebijakan untuk supaya ada keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Jadi pengalaman hidupnya sebagai perempuan Bali sebenarnya modalitas yang baik untuk pembangunan kesetaraan dan keadilan gender,” ujar Dian.
Komnas Perempuan: Siapapun Yang Dipilih Harus Berani Wujudkan CEDAW
Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menyatakan saat ini isu gender masih sektoral dalam perencanaan pembangunan dan kekerasa perempuan masih diletakan sebagai persoalan pemberdayaan perempuan semata.
Menurutnya mandat kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk pemberdayaan perempuan perlu ditingkatkan mengingat cikal bakal kementerian ini dibentuk pada tahun 1983 adalah untuk memperkuat peranan wanita (pemberdayaan perempuan) sebagai tindaklanjut dari ratifikasi konvensi CEDAW, The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang sudah diratifikasi Indonesia sejak tahun 1984. (fw/em)