Delapan Mei nanti tepat 25 tahun kasus pembunuhan Marsinah berlalu. Belum terungkapnya secara tuntas kasus itu mendorong dua puluh lima perempuan pembela demokrasi mendesak pemerintah mengusut kembali kasus kematian buruh perempuan yang memperjuangkan haknya ketika pada tahun 90-an itu.
Marsinah bersama teman-temannya ketika itu menuntut kenaikan upah, tunjangan trasportasi, uang makan, uang lembur , cuti hamil dan jamsostek serta mengajak buruh untuk mogok kerja dan ikut berjuang bersamanya. Pemogokan itu berlangsung damai tetapi perusahaan mengerahkan personil militer untuk menanganinya.
Komando Distrik Militer Sidoarjo ketika itu memanggil dan menginterograsi 13 buruh yang dinilai merupakan dalang pemogokan. Mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di markas Kodim.
Marsinah bersama empat temannya mendatangi markas Kodim Sidoarjo guna menolak pemutusan hubungan kerja yang dialami 13 rekannya dan menyampaikan niatnyamengadukan tindakan semena-mena Kodim ke pengadilan. Selepas kedatangannya itu, Marsinah raib bak ditelah bumi. Jasad Marsinah dalam kondisi penuh luka bekas siksaan, ditemukan beberapa hari kemudiandi hutan Wilangan, Nganjuk yang terletak hampir 150 kilometer dari Sidoarjo.
Kasus kematian Marsinah sebenarnya sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo lalu berlanjut ke Pengadilan Negeri Surabaya. Para tersangka mengaku disiksa dan dipaksa untuk mengaku. Kemudian hakim menjatuhkan mereka 17 tahun penjara. Sembilan tersangka yang merupakan petinggi perusahaan tempat Marsinah bekerja banding dan kemudian dibebaskan oleh Mahkamah Agung.
Namun Pratiwi Febri dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengatakan pelaku yang sesungguhnya dan siapa aktor dibalik kasus pembunuhan Marsinah, masih buram.
Menurut Pratiwi, ada fakta-fakta dan temuan persidangan yang sedianya dapat diselidiki kembali dalam kasus pelanggaran HAM. Menurutnya kasus ini bukan hanya soal kriminalitas, tapi tentang perjuangan warga negara, perempuan, dan buruh yang dirampas haknya oleh negara.
Pratiwi menilai pemerintah seolah-olah menutup kasus Marsinah dan menganggap kasus ini selesai dengan tidak menindaklanjuti fakta-fakta dan temuan dalam persidangan tersebut.
"Sampai hari ini pemerintah, aparat penegak hukum juga semuanya diam terhadap kasus Marsinah. Kasus Marsinah sama dengan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang hingga kini pemerintah juga tidak mau mengungkap," kata Pratiwi.
Dua puluh lima prempuan pembela demokrasi juga menuntut agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka kembali dan mengusut dengan serius kasus Marsinah. Menurut Pratiwi, berbagai bahan pengusutan kasus Marsinah sebagai kejahatan HAM masih bisa ditemukan jika ada keberanian dan berkomitmen untuk menggunakannya bagi penuntasan kasus.
Elena Ekarahendy, Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi mengajak seluruh masyarakat mengingat pekerjaan rumah Indonesia 20 tahun pasca reformasi antara lain untuk mengungkap kasus Marsinah ini.
Pemerintah tambahnya juga harus mengakui bahwa kasus Marsinah sebagai kasus kejahatan hak asasi manusia.
Your browser doesn’t support HTML5
"Kita sadar dengan menyalakan api Marsinah kita ingatkan Indonesia walaupun berganti kepemimpinan terus ganti baju dan slogan masih tetap berdiri dan berjalan dengan represi yang sama seperti 20 tahun lalu kita menggaungkan reformasi. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ingat bahwa Indonesia masih punya PR dalam 20 tahun reformasi ini yang terus kita gelorakan bersama agar demokrasi buka cuma jadi bahan jualan dari segenal elit-elit politik," kata Elena.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengaku hingga kini ia belum mempelajari dokumen apapun di Komnas HAM terkait soal kasus Marsinah. Menurutnya secara pribadi ia menilai kasus kematian Marsinah merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia, tetapi apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak,perlu dipelajari terlebih dahulu.
Anam juga menilai baik desakan yang diberikan oleh 25 perempuan pembela demokrasi tersebut. "Kami belum pernah mendiskusikan kasus Marsinah di internal, yang kami diskusikan masih seputar Aceh, Papua dll. Marsinah belum masuk sama sekali. Dan bagus kalau diingatkan oleh masyarakat agar Komnas HAM memberikan perhatian terhadap kasus Marsinah, biar kami yang baru ini bisa membuka kembali dokumen-dokumen yang pernah dilakukan oleh Komnas HAM," jelasnya.
Staf presiden bidang Hak Asasi Manusia Ifdal Kasim hingga laporan ini diturunkan belum dapat dimintai tanggapannya terkait hal ini.
Untuk memperingati 20 tahun reformasi dan 25 tahun terbunuhnya Marsinah, perempuan pembela demokrasi tersebut dan elemen lainnya akan menggelar aksi di depan Istana Negara, Jakarta untuk menyuarakan keadilan bagi Marsinah. [fw/em]