Aktivis prodemokrasi Hong Kong Joshua Wong mengatakan keputusan pihak berwenang Hong Kong untuk melarangnya mencalonkan diri dalam pemilihan lokal mendatang membuktikan “bagaimana Beijing memanipulasi pemilu dengan sensor dan penyaringan politik.”
Wong memposting pemberitahuan yang ia terima dari seorang petugas komisi pemilu di Twitternya hari Selasa, yang menyatakan pencalonannya tidak sah. Wong pekan lalu mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya kandidat dalam pemilu mendatang yang dilarang berpartisipasi.
Seorang juru bicara pemerintah mengeluarkan pernyataan tertulis yang menyebutkan pencalonan Wong dinyatakan tidak sah karena ia menganjurkan “penentuan nasib sendiri” bagi Hong Kong.
Wong yang berusia 23 tahun, bersama dengan sesama aktivis mahasiswa lainnya, Nathan Law dan Alex Chow, menyerbu halaman kompleks pemerintah pada September 2014. Aksi untuk menuntut pemilu yang sepenuhnya bebas itu menyebabkan “Revolusi Payung” yang menutup beberapa jalan raya utama selama lebih dari dua bulan. Protes-protes itu diluncurkan setelah Beijing melanggar janji-janji hak pilih universal selambatnya tahun 2017, tetapi berakhir tanpa mendapat konsesi apapun dari Hong Kong.
Kota semiotonom itu menghadapi protes besar-besaran yang kerap disertai kekerasan sejak Juni lalu, dipicu oleh RUU yang akan memungkinkan tersangka penjahat diekstradisi ke Chinadaratan.
Protes-protes itu berubah menjadi tuntutan bagi demokrasi penuh untuk Hong Kong, selain penyelidikan independen mengenai kemungkinan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi serta amnesti penuh bagi semua aktivis yang ditangkap selama unjuk rasa. Para aktivis yang mengenakan penutup wajah telah merusak sistem kereta bawah tanah kota itu dan tempat-tempat bisnis, serta menyerang polisi dengan batu bata dan bom molotov.
BACA JUGA: Pemimpin Demo di Hong Kong akan Calonkan Diri dalam PilegKepala eksekutif Hong Kong Carrie Lam, Selasa (29/10) memperingatkan bahwa ekonomi kota itu akan menghadapi pertumbuhan negatif tahun ini karena berbagai unjuk rasa itu.
Hong Kong menikmati otonomi tingkat tinggi di bawah pengaturan “satu pemerintah, dua sistem” yang ditetapkan sewaktu China menerima kembali kontrol atas Hong Kong dari Inggris pada tahun 1997. Tetapi aktivis politik dan pengamat menyatakan Beijing perlahan-lahan mulai mempererat cengkeramannya atas wilayah itu dan mengikis kebebasan dasar di sana. [uh/lt]