Dua aktivis lingkungan hidup yang ditahan menuduh militer Filipina menculik mereka, sehingga memicu tuntutan kelompok-kelompok HAM agar keduanya dibebaskan. Pengakuan kedua aktivis disampaikan ketika mereka hadir pada konferensi pers pemerintah pada Selasa (19/9).
Jonila Castro, 21, dan Jhed Tamano, 22, telah bekerja dengan masyarakat pesisir yang menentang kegiatan reklamasi di Teluk Manila ketika mereka hilang pada tanggal 2 September di Provinsi Bataan, dekat ibu kota Manila.
Filipina adalah salah satu negara paling berbahaya di dunia bagi pembela lahan dan lingkungan hidup, dengan 11 orang terbunuh pada tahun 2022, menurut organisasi pengawas Global Witness.
Kelompok-kelompok HAM melancarkan penyelidikan beberapa hari setelah hilangnya Castro dan Tamano. Mereka menuduh perempuan-perempuan tersebut telah diculik secara kejam, mungkin oleh "aktor negara", yang tampaknya berkaitan dengan aktivisme mereka.
Pada tanggal 15 September, hampir dua minggu setelah keduanya dinyatakan hilang, Dewan Keamanan Nasional (NSC) dan polisi mengumumkan pada konferensi pers bahwa Castro dan Tamano ditahan di rumah persembunyian setelah mereka meminta bantuan dari pihak berwenang.
Mereka menyangkal bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah aktivis dan mengatakan bahwa tuduhan “organisasi sayap kiri” bahwa mereka telah diculik adalah “berita palsu” dan “kebohongan yang rumit”.
"Mereka digambarkan sebagai aktivis lingkungan hidup. Mereka bukan aktivis lingkungan hidup tapi pengorganisir sayap kiri. Mereka meninggalkan gerakan itu atas kemauan mereka sendiri," kata juru bicara NSC Jonathan Malaya kepada wartawan saat itu.
Namun pada hari Selasa, Castro dan Tamano menyampaikan versi berbeda mengenai kejadian tersebut pada konferensi pers yang diselenggarakan oleh Satuan Tugas Nasional untuk Mengakhiri Konflik Bersenjata Komunis Lokal, yang dibentuk oleh mantan presiden Rodrigo Duterte.
Diancam akan Dibunuh
Gugus tugas tersebut sering menuduh para pengkritik pemerintah sebagai simpatisan komunis, tanpa memberikan bukti apa pun.
Praktek ini, yang dikenal sebagai “penandaan merah”, dapat mengakibatkan penangkapan, penahanan atau bahkan kematian orang yang menjadi sasaran. Ini berlanjut di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr, yang menggantikan Duterte pada tahun 2022.
Castro dan Tamano tampaknya dengan sengaja tidak membaca naskah yang disiapkan sebelumnya oleh pihak berwenang saat konferensi pers di Balai Kota Plaridel di provinsi Bulacan. “Sebenarnya kami diculik oleh militer dengan sebuah van,” kata Castro. “Kami terpaksa menyerah karena mereka mengancam akan membunuh kami. Itu kenyataannya. Kami tidak ingin berada dalam tahanan militer.”
Castro mengatakan pernyataan yang mereka tandatangani “tidak benar”. "Kami tidak punya pilihan saat itu. Hari ini kami ingin menunjukkan betapa fasisme negara ini terhadap para aktivis yang hanya ingin memperjuangkan Teluk Manila," katanya.
Rekaman konferensi pers tersebut tersebar secara luas di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Tautan ke video tersebut kemudian dihapus dari halaman Facebook pemerintah kota Plaridel dan gugus tugas.
Karapatan, aliansi kelompok hak asasi manusia setempat, mengatakan pernyataan para perempuan tersebut menunjukkan klaim resmi bahwa mereka telah menyerah kepada pihak berwenang adalah “semuanya bohong dan omong kosong”. “Kami menuntut pembebasan Jhed Tamano dan Jonila Castro secara aman sekarang, dan tidak lebih lama,” kata Sekretaris Jenderal Karapatan Cristina Palabay.
Juru bicara militer Medel Aguilar menolak berkomentar selain mengatakan: "Kami akan menunggu laporan dari unit lapangan kami di sana."
Juru bicara NSC Malaya tidak segera menanggapi permintaan komentar kantor berita AFP. [ab/ka]