Khamid Istakhori, Program Officer Building and Wood Workers’ International (BWI) Regional Asia Pasifik kepada VOA menjelaskan unjuk rasa ini diinisiasi oleh Council Global Union Indonesia, berisi berbagai federasi serikat pekerja di Indonesia yang berafiliasi internasional.
Dia menambahkan demostrasi ini dilakukan untuk lebih mengingatkan kepada masyarakat agar lebih peduli pada keamanan dan keselamatan di tempat bekerja, tentang betapa nyawa sangat berharga bagi pekerja dan keluarga mereka.
Khamid mengatakan protes ini juga menyuarakan penderitaan kaum buruh di Myanmar. Menurutnya, banyak pula buruh Myanmar meninggal di tempat kerja mereka.
"Teman-teman di Myanmar dari berbagai afiliasi internasional sedang mengalami represi yang luar biasa oleh rezim junta militer di sana. Ada ribuan yang dipenjara, ada ratusan yang terbunuh, ada yang sedang menanti eksekusi hukuman mati, dan beberapa pimpinan serikat pekerja itu tidak aman karena dalam target operasi junta militer untuk dihilangkan," kata Khamid.
Menurutnya, sebelum terjadi kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari 2021, terdapat 754 serikat pekerja dengan 60 ribuan buruh sebagai anggota. Sesudah junta berkuasa, semua serikat pekerja hilang karena diberangus oleh junta.
Kemudian proyek-proyek konstruksi dihentikan sehingga pekerja di sektor tersebut tidak mendapat upah. Yang digerakkan oleh pihak junta Myanmar, tambahnya, adalah industri-industri yang mendukung ekonomi negara, seperti perkayuan, tambang, senjata, dan garmen.
Karena itu, lanjut Khamid, sebagian besar buruh di Myanmar tidak bekerja atau menjadi pekerja informal, dan bahkan ada yang nekat melintasi perbatasan secara tidak resmi dan menjadi pekerja migran di Thailand, Kamboja, dan negara-negara lain.
Dia mendesak pemerintah Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini untuk menekan junta Myanmar, menolak bekerja sama dengan pihak junta, atau segera mendorong terwujudnya pemilihan umum di Myanmar secara jujur dan adil di bawah pengawasan internasional.
Khamid menilai upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam menekan Myanmar tidak maksimal karena selalu berlindung pada prinsip tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Padahal sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia harus berani bersikap tegas dan serius, bukan sekadar tindakan normatif.
Jika gagal hingga akhir tahun ini, dia berpendapat Indonesia kehilangan momentum dalam upaya membantu menyelesaikan krisis di Myanmar. Dia menekankan junta Myanmar menolak melaksanakan lima poin konsensus yang merupakan hasil kesepakatan para pemimpin negara anggota ASEAN karena Myanmar tidak dikenai sanksi.
Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga mengatakan di dalam ASEAN ada prinsip utama untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota. Artinya tidak akan ada campur tangan dalam persoalan “dapur” Myanmar.
Untuk menyelesaikan konflik di Negeri Seribu Pagoda itu, tambahnya, tidak ada salahnya jika ASEAN meminta dukungan dari semua pihak, termasuk China, yang memang memiliki kedekatan dan pengaruh besar di Myanmar, tentunya dengan tetap menjadikan lima poin konsensus sebagai pedoman utama.
Myanmar, tambah Pandu, adalah batu ujian bagi keketuaan ASEAN. Dalam jangka pendek, lanjutnya, Indonesia sedianya hanya fokus pada dua poin dari lima poin yang ada, yaitu menghentikan kekerasaan dan mengirim bantuan kemanusiaan buat rakyat Myanmar. Lainnya dapat menyusul. Ini penting, karena menurut Pandu, jika ASEAN tidak mampu menyelesaikan persoalan di Myanmar, maka badan ini dinilai belum mengimplementasikan nilai-nilai yang sudah disepakati bersama seperti demokrasi, HAM.
“Yang ketiga, di mata mitra dialog ataupun negara-negara sahabatnya, ASEAN (dianggap) masih belum capable untuk menyelesaikan persoalan internalnya. Bagaimana kemudian ASEAN menjadi peace builder, menjadi honest broker di antara negara-negara besar. Itu masih menjadi pertanyaan lanjutan. Yang menjadi konsekuensinya paling besar adalah kredibilitas ASEAN,” ujar Pandu.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan Indonesia terus mendorong implementasi konsensus lima poin terkait Myanmar.
"Indonesia telah melakukan pelibatan berbagai pemangku kepentingan (di Myanmar), dengan tujuan untuk mendorong dilakukannya dialog nasional yang inklusif. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan (itu) dilakukan sesuai dengan mandat konsensus lima poin," kata Retno.
Retno menekankan Indonesia sangat intensif melakukan pelibatan beragam pemangku kepentingan dengan tujuan utama penghentian tindak kekerasan. [fw/lt]