Militer Myanmar menggunakan bom besar yang dikirim melalui udara dalam serangan mematikan di sebuah kamp yang menampung para pengungsi di bagian utara negara itu, kata Amnesty International pada Jumat (13/10).
Junta yang berkuasa dituduh melakukan beberapa serangan berdarah terhadap warga sipil sewaktu berusaha menghancurkan perlawanan terhadap kudeta pada 2021.
Insiden terbaru pada Senin malam itu menyebabkan 29 orang tewas dan 56 lainnya terluka di sebuah kamp dekat kota Laiza, Myanmar utara, yang berbatasan dengan China, menurut kelompok pemberontak etnis Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA).
Seorang ahli senjata Amnesty International menganalisis foto dan video pasca serangan yang "menunjukkan bukti satu ledakan besar yang meratakan puluhan bangunan di dekatnya -- termasuk gereja, taman kanak-kanak dan banyak rumah -- dan memicu kebakaran".
“Ukuran kawah dan kerusakan yang diamati konsisten dengan bom terbesar yang dikirim dari udara yang diketahui ada dalam inventaris militer Myanmar,” kata kelompok HAM tersebut.
“Amnesty International yakin militer Myanmar hampir pasti menggunakan bom tak terarah, yang merupakan senjata tidak akurat yang sama sekali tidak pantas digunakan di wilayah sipil.”
Pernyataan itu mengatakan insiden itu “mungkin merupakan kejahatan perang."
Junta mengatakan bom yang meledak itu milik pemberontak di daerah tersebut tanpa memberikan bukti.
Namun Amnesty International mengatakan "penjelasan militer bertentangan dengan pernyataan saksi yang konsisten, yang menyatakan bahwa ledakan tersebut merupakan awal dari serangan terkoordinasi".
BACA JUGA: Serangan terhadap Kamp Pengungsi di Myanmar Utara, Lebih 20 Tewas“Bom itu jatuh di lapangan terbuka yang luas dengan lalu lintas kendaraan yang teratur, kemungkinan besar bukan tempat penyimpanan amonium nitrat,” tambah kelompok HAM tersebut.
KIA menguasai sebagian besar negara bagian Kachin yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan telah bentrok dengan militer Myanmar selama beberapa dekade.
Wilayah ini telah mengalami pertempuran sengit sejak kudeta, dan junta menuduh kelompok pemberontak itu melatih Pasukan Pertahanan Rakyat yang bermunculan untuk melakukan perlawanan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan ia “memprihatinkan” insiden tersebut dan “mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban." [ab/lt]