Menurut Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pelaku pembunuhan di luar hukum itu umumnya diduga aparat keamanan. "Jumlah warga yang dibunuh oleh aparat negara mayoritas adalah orang asli Papua. Jumlah ini seluruhnya merupakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang asli Papua dengan jumlah 94 orang. Sedangkan, bukan orang asli Papua ada satu korban warga sipil," kata Usman dalam konferensi pers daring, Senin (21/3).
Usman memaparkan, pada tahun 2018 tercatat ada 12 kasus dengan korban 18 orang, sementara tahun 2019 ada 16 kasus dengan korban 32 orang.
Masih menurut Usman, pada tahun 2020 ada 19 kasus dengan jumlah korban 30 orang dan pada tahun 2021 ada 11 kasus dengan korban 15 orang. "Ini semuanya dilakukan oleh aparat keamanan negara," ujarnya.
Usman menjelaskan, operasi aparat keamanan militer menimbulkan paling banyak korban, yakni 37 orang, diikuti oleh operasi Polri dengan jumlah korban 17 orang, dan operasi gabungan TNI-Polri dengan korban 39 orang. Aksi petugas penjara dilaporkan mengakibatkan jumlah dua warga sipil tewas.
"Kalau kita lihat per tahun dibandingkan siapa pelakunya. Maka kita lihat di dalam kasus-kasus yang dibagi per tahun untuk tahun 2020 banyak dilakukan oleh aparat militer. Kalau tahun 2019 banyak dilakukan oleh aparat kepolisian, demikian pula di tahun 2018. Sementara di tahun 2021 masih didominasi oleh aparat militer," ungkapnya.
Dalam catatan Amnesty International Indonesia, pembunuhan-pembunuhan di luar hukum itu terjadi di Papua dan Papua Barat, dengan Intan Jaya tercatat sebagai kabupaten terparah, delapan kasus dengan 12 korban. "Jadi Papua dan Papua Barat tidak bebas dari pembunuhan-pembunuhan di luar hukum," ucap Usman.
Bukan hanya aparat keamanan Indonesia saja yang menjadi pelaku pembunuhan di luar hukum di Papua. Menurut Usman, aktor non negara, seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), juga turut menjadi pelaku.
Your browser doesn’t support HTML5
"Dalam hal ini diduga kuat adalah TPNPB-OPM ada enam kasus dengan 29 korban pada tahun 2018 sampai 2020. Adapun pelaku yang kesulitan diidentifikasi tapi kami sebut dengan orang tak dikenal (OTK) ada enam kasus dengan 26 korban," sebutnya.
Amnesty International Indonesia juga memaparkan, akibat konflik bersenjata dengan TPNPB-OPM, sejumlah anggota aparat keamana juga tewas. "Demikian pula dari segi korban aparat militer ada 11 kasus dan yang menjadi korban 14 orang. Lalu, anggota Polri ada tiga kasus dengan jumlah empat orang," kata Usman.
BACA JUGA: TNI-Polri Evakuasi Jenazah 8 Pekerja Tower yang Tewas Diserang KKBMenurut Usman, berkaca dari jumlah kasus, pendekatan keamanan hanya akan menimbulkan banyak korban. Pemerintah, katanya, perlu mencari akar masalah di Papua dengan jalan yang terbaik, dan enyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan seadil-adilnya.
"Memberikan keadilan pada korban. Menghentikan rencana-rencana eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat adat. Lalu, mengurangi penempatan pasukan kecuali ada alasan-alasan yang memang dibenarkan oleh hukum HAM internasional," pungkas Usman.
Anggota Majelis Rakyat Papua, Ciska Abogau, mengatakan banyak dugaan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang berujung kematian dilakukan aparat keamanan. Namun, katanya, hingga kini mereka masih belum mengakui perbuatan-perbuatan itu.
"Mungkin negara harus jujur dan berbicara mengakui. Negara juga manusia bukan malaikat pasti ada kesalahan. Kami mau (negara) datang dan duduk sambil berbicara. Itu pesan dari masyarakat di Intan Jaya," ucapnya.
Pembela HAM asal Papua, Yones Douw, menuturkan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa menyelesaikan konflik yang terjadi dengan hanya menawarkan kesejahteraan. Menurutnya, pemerintah harus berunding bersama TPNPB-OPM untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua.
"Masyarakat Papua sudah kehilangan kepercayaan terhadap negara ini. Menyelesaikan persoalan secara tuntas adalah pemerintah duduk dengan TPNPB-OPM. Sama seperti menyelesaikan persoalan di Aceh. Aceh bisa, kenapa di Papua tidak?" tandasnya.
Saat ini Polda Papua maupun Kodam XVII/Cenderawasih belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan yang disampaikan Amnesty International Indonesia tersebut. [aa/ab]