Obet Gobay masih ingat betul peristiwa kelam yang terjadi empat tahun lalu di kampung halamannya. Insiden pada 8 Desember 2014 di lapangan Karel Gobai, Kota Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua, itu menewaskan empat pemuda setempat, termasuk anaknya, Apius Gobay (16 tahun) yang tertembak di perut.
Tiga korban tewas lainnya adalah Alpius Youw (18 tahun) tertembak di pantat, Simon Degei (17 tahun) tertembak di rusuk, dan Yulianus Yeimo (17 tahun) tertembak di perut dan punggung.
Dalam jumpa pers di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta, Jumat (7/12), Obet Gobay mengaku sampai saat ini tidak merelakan pembunuhan terhadap anaknya tersebut. Sejak tahun 2015 ia secara berkala datang ke Jakarta untuk mencari keadilan bagi anak lelaki satu-satunya itu. Gobay mengatakan pemerintah tidak berniat serius untuk menyelesaikan kasus penembakan di Paniai. Karena itulah dirinya terus datang ke Jakarta untuk meminta keadilan.
"Saya tidak bicara banyak, tapi saya tunggu pemerintah kapan menyelesaikan kasus ini. Itu harapan dari orang tua empat orang yang ditembak. Panjang atau pendek, saya tunggu pemerintah untuk pengungkapan pelaku," harap Gobay.
Aktivis HAM di Papua, Yones Diaw, mengklaim Simon Degei dan Alpius Youw ditembak oleh anggota Paskhas yang bertugas menjaga bandara. Sedangkan Apius Gobay dan Yulianus Yeimo belum diketahui dari pihak mana pelakunya.
Diaw menegaskan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua selama ini tidak hanya karena alasan ideologi.
"Gara-gara tanah adat, itu juga ditembak, palang jalan juga ditembak, minta sesuatu saja ditembak. Bukan saja persoalan Papua merdeka. Jadi orang Papua hari ini tidak ada rasa nyaman di atas tanahnya sendiri," tutur Yones Diaw.
Diaw memperingatkan kalau kasus-kasus pelanggaran HAM tidak selesaikan secara tuntas, hal itu dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Padahal menurutnya Presiden Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus ini. Presiden bahkan ikut datang merayakan Natal bersama warga Papua pada Desember 2014 atau tiga minggu setelah insiden berdarah di Paniai.
Pemerintah Tawarkan Uang Damai, Korban Tolak
Sejauh ini pemerintah sudah menawarkan uang damai Rp 4 miliar bagi keluarga empat korban tewas dalam penembakan di Paniai, namun mereka semua menolak tawaran tersebut.
Papang Hidayat, peneliti isu Papua Amnesty International Indonesia mengatakan kasus Paniai layak mendapat perhatian serius karena peristiwa penembakan menewaskan empat warga sipil itu terjadinya kurang dari dua bulan setelah Presiden Joko Widodo dilantik.
Beberapa bulan setelah kejadian di Paniai itu Amnesty International Indonesia meluncurkan kampanye global untuk mengingatkan pemerintah Indonesia agar menuntaskan kasus penembakan yang menewaskan empat warga sipil di Paniai secara transparan.
Papang menegaskan Amnesty International Indonesia meyakini kalau kasus Paniai tidak dituntaskan secara transparan maka kejadian serupa akan terus berulang. Menurutnya selama tahun 2015-2018 terdapat 40-an kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua.
"Salah satu akar masalah di Papua di mana pelanggaran HAM masih terus terjadi dibanding di daerah lain. Kenapa (penyelesaian) kasus Paniai ini harus dijadikan contoh? Supaya bisa bikin semacam kepercayaan dari orang tua dan orang-orang Indonesia bahwa keadilan itu bisa diraih oleh orang Papua," tandas Papang.
Amnesty International Indonesia: Sanksi Administratif Tidak Cukup
Amnesty International Indonesia menyimpulkan penembakan yang menewaskan empat warga sipil di Paniai itu bukan pembunuhan berencana tetapi reaksi berlebihan terhadap protes masyarakat.
Sesuai hasil investigasi polisi yang diterima Amnesty International Indonesia, kata Papang, telah terjadi kesalahan prosedur dalam penanganan massa. Akibat hal itu dua personil telah dikenai hukuman tahanan 21 hari dan sanksi administratif yaitu tidak mendapat kenaikan pangkat. Padahal menurut prinsip HAM, tegas Papang, jika ada korban tewas maka sanksi yang diberikan harus lebih berat dari sekedar sanksi administratif. Insiden ini pun sedianya diselidiki oleh sebuah tim independen.
Adriana Elisabeth, peneliti senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Untuk Isu Papua, menilai penyelesaian kasus Paniai menjadi salah satu ukuran kesungguhan pemerintah menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua.
"Ini (penyelesaian kasus Paniai) menjadi kata kunci yang penting untuk menilai kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua, khususnya kasus Paniai, karena ini terkait dengan persoalan HAM," tukas Adriana.
Pembangunan Papua Harusnya Disertai Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM
Dari hasil temuan penelitiannya, Adriana mengungkapkan kekerasan masih terus terjadi di Papua, termasuk yang terakhir penembakan terhadap 31 pekerja PT Ista Karya sedang mengerjakan proyek jembatan di Kabupaten Nduga. Ia menambahkan bahwa tidak semua kekerasan menjurus pada pelanggaran HAM tetapi kekerasan itu bisa mengarah pada pelanggaran HAM.
Adriana menggarisbawahi adanya persoalan sangat mendasar akibat dari kekerasan terus berulang di Papua, yakni trauma yang dialami korban, keluarga dan warga secara keseluruhan. Padahal selama ini tidak ada program khusus untuk menangani para korban konflik di Papua yang mengalami trauma.
Meski begitu, Adriana memuji kebijakan Presiden Joko Widodo yang secara masif membangun infrastruktur di Papua. Meskipun menurutnya pembangunan tanpa penyelesaian masalah-masalah pelanggaran HAM, membuat kemajuan di Papua berjalan timpang.
Komnas HAM Tak Kunjung Simpulkan Hasil Penyelidikan Paniai
Amiruddin Al-Rahab, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Pemantauan dan Penyelidikan mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat warisan sembilan berkas tentang pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Paniai, dan semua prosesnya berjalan mandek.
Dalam kasus Paniai, Amiruddin menjelaskan para saksi menjadi bingung karena begitu banyak tim investigasi yang masuk ke lokasi selain dari Komnas HAM, sehingga mereka menolak bersaksi ketika Komnas HAM berusaha menggali lebih dalam kejadian penembakan tersebut. Walhasil, lanjut Amiruddin, selama 2014-2017 Komnas HAM belum bisa menyimpulkan mengenai peristiwa di Paniai.
"Kenapa Komnas belum bisa menyimpulkan? Komnas terikat pada prosedur formal yang dimilikinya. Jadi ia (Komnas HAM) tidak bisa berspekulasi karena ini adalah pembuktian tindak pidana. Pembuktian tindak pidana membutuhkan korelasi antar bukti," kata Amiruddin.
Karena itu, menurut Amiruddin, sejak Januari tahun ini Komnas HAM mencoba menindaklanjuti kasus Paniai dengan berkomunikasi dengan sejumlah instansi yang dinilai bertanggungjawab terhadap perkara di Paniai, antara lain: Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Kejaksaan Agung, TNI, dan Polri.
Amiruddin menekankan rupanya segalanya berjalan ruwet karena masing-masing instansi tetap berpegang teguh pada posisinya masing-masing. Padahal Komnas HAM perlu masuk lebih dalam sehingga keterangan yang diperlukan belum cukup untuk membuat kesimpulan terhadap kasus penembakan di Paniai. [fw/em]