Amnesty International, pada Kamis (4/4), melaporkan bahwa Iran telah mengubah penjara-penjaranya menjadi tempat pembunuhan massal, dengan sedikitnya 853 orang dieksekusi mati pada tahun 2023, lebih dari setengahnya atas tuduhan narkoba.
Kelompok yang berbasis di London itu mengatakan bahwa tindakan internasional yang lebih kuat diperlukan untuk menghentikan bertambahnya eksekusi. Jika tidak, “ribuan orang” berisiko digantung di tahun-tahun mendatang.
Amnesty mengatakan, otoritas Iran “bersikeras dengan aksi pembunuhan yang disetujui negara, mengubah penjara menjadi ladang pembantaian.” Angka untuk tahun 2023 meningkat 48% dari tahun sebelumnya, dan 56% dari eksekusi itu merupakan kasus narkoba.
Dua lembaga lainnya, Iran Human Rights (IHR) dan Together Against the Death Penalty (ECPM), menerbitkan laporan serupa pada bulan lalu dengan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu 834 orang dieksekusi pada tahun 2023.
BACA JUGA: Polisi Inggris: Tersangka Penikaman Jurnalis Iran Lari ke Luar NegeriLonjakan hukuman mati ini terjadi setelah Iran diguncang aksi unjuk rasa yang meletus pada September 2022. Sembilan orang yang kasusnya terkait dengan aksi tersebut telah dihukum mati.
Kelompok pembela HAM, termasuk Amnesty, telah memperingatkan bahwa otoritas menggunakan eksekusi mati untuk menanamkan rasa takut di seluruh lapisan masyarakat, dan mencegah aksi unjuk rasa terjadi lagi.
Amnesty mengatakan, perilaku Iran belum berubah di tahun ini, dengan sedikitnya terdapat 95 eksekusi mati yang tercatat hingga tanggal 20 Maret lalu. Mereka menambahkan bahwa angka itu merupakan “angka terkecil” dan jumlah kematian yang sebenarnya akan lebih tinggi.
Amnesty International mengatakan dalam laporannya bahwa, “Tanpa tanggapan global yang kuat, Amnesty Internasional khawatir otoritas Iran akan terus menggunakan hukuman mati sebagai alat penindasan untuk mengeksekusi ribuan orang lagi di tahun-tahun mendatang.”
Di antara mereka yang dieksekusi adalah Hamidreza Azari, 17, yang digantung pada bulan November di provinsi Razavi Khorasan, setelah divonis bersalah atas penusukan mematikan pada tahun 2023 ketika ia berusia 16 tahun.
Usianya lalu “disalahartikan” menjadi 18 tahun oleh media pemerintah untuk “menghindari pertanggungjawaban,” kata Amnesty, seraya menambahkan bahwa mereka telah memeriksa akta kelahirannya.
BACA JUGA: Garda Revolusi Iran: Israel akan Didera “Pukulan Mematikan”Amnesty mengatakan bahwa kelompok minoritas Sunni Baluch yang terpusat di bagian tenggara Iran menjadi sasaran yang tidak proporsional.
Minoritas ini “hanya merupakan sekitar 5% dari populasi Iran, tetapi menyumbang 20% dari semua eksekusi pada tahun 2023,” kata laporan itu. Lonjakan baru ini pun menjadi perhatian khusus.
Undang-undang anti-narkotika Iran dimodifikasi pada tahun 2017, dan hukuman mati untuk pelanggaran narkoba menurun pada tahun 2018 dan 2020 sebelum mengalami peningkatan secara dramatis tahun lalu.
Wakil Direktur Regional Amnesty untuk Timur Tengah dan Afrika, Diana Eltahawy mengatakan, “Hukuman mati itu menjijikkan dalam segala situasi, tetapi menerapkannya dalam skala besar untuk pelanggaran terkait narkotika, setelah melalui sidang Pengadilan Revolusioner yang tidak adil, adalah penyalahgunaan kekuasaan yang tidak masuk akal.” [ti/rs]