Amnesty: Penggunaan Ranjau Darat Militer Myanmar Termasuk Kejahatan Perang

Panglima junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin parade militer pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, 27 Maret 2021. (Foto: Reuters)

Pasukan junta Myanmar melakukan kejahatan perang dengan meletakkan ranjau darat dalam “skala besar” di sekitar desa-desa di mana mereka memerangi pejuang anti-kudeta, kata kelompok HAM Amnesty International pada Rabu (20/7).

Pertempuran telah merusak petak demi petak negara itu sejak kudeta tahun lalu, yang memicu bentrokan baru dengan kelompok pemberontak etnik dan pembentukan puluhan “Pasukan Pertahanan Rakyat” yang sekarang memerangi junta.

Selama kunjungannya ke negara bagian Kayah di dekat perbatasan Thailand, para peneliti Amnesty mewawancarai para penyintas ranjau darat, pekerja medis yang mengobati mereka serta pihak lain yang terlibat dalam operasi pembersihan ranjau, kata organisasi itu.

Amnesty mengatakan pihaknya memiliki “informasi kredibel” bahwa pihak militer telah menggunakan ranjau di setidaknya 20 desa, termasuk di jalur-jalur menuju sawah, sehingga menyebabkan korban jiwa dan luka di kalangan warga sipil.

BACA JUGA: Suu Kyi Dipindahkan ke Sel Isolasi dalam Penjara Myanmar

Amnesty juga mengatakan pihaknya telah mendokumentasikan beberapa contoh di mana pihak militer meletakkan ranjau darat di sekitar sebuah gereja dan halamannya.

“Para tentara menempatkan ranjau darat di halaman rumah orang, pintu masuk rumah, dan toilet di luar rumah,” kata Amnesty.

“Di setidaknya satu kasus yang terdokumentasi, para tentara memasang jebakan di sebuah tangga rumah dengan menggunakan alat peledak kawat rakitan.”

Anggota kelompok anti-junta mencoba membersihkan ranjau darat di beberapa wilayah, namun upaya itu hanya dilakukan secara manual “dengan tangan, dengan hanya menggunakan peralatan dasar dan tanpa pelatihan profesional,” tambahnya.

“Kami tahu dari pengalaman pahit bahwa kematian warga sipil dan luka-luka yang diderita akan terus bertambah seiring waktu, dan kontaminasi (ranjau darat) yang meluas telah menghalangi orang untuk kembali ke rumah dan ladang mereka,” kata Rawya Rageh, penasihat krisis senior kelompok HAM itu.

Demonstran memprotes junta militer Myanmar di Mandalay, Myanmar, 18 Februari 2021. (Foto: AP)

Myanmar tidak menandatangani konvensi PBB yang melarang penggunaan, penimbunan atau pengembangan ranjau anti-personel.

Militernya telah berulang kali dituduh atas kekejaman dan kejahatan perang dalam konflik internal selama puluhan tahun.

Kekerasan militer terhadap minoritas Rohingya tahun 2017 menyebabkan sekitar 750.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh, yang juga diakibatkan oleh pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran.

Pada Maret lalu, PBB menyatakan bahwa kekerasan terhadap minoritas Rohingya termasuk ke dalam aksi genosida, dengan bukti-bukti yang jelas atas upaya untuk “menghancurkan” mereka.

BACA JUGA: Cek Fakta: Junta Militer Myanmar Gembar-gemborkan Hak Palsu Sementara Pengadilan Militer Putuskan Hukuman Mati

Gambia menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional pada tahun 2019 atas tuduhan genosida terhadap minoritas Muslim yang dilakukan negara berpenduduk mayoritas Budha itu.

Pengadilan yang bermarkas di Den Haag itu akan memberikan putusannya terhadap keberatan awal Myanmar terhadap kasus itu pada pekan ini.

Menyusul kudeta yang menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi, pihak militer telah melancarkan aksi keji terhadap pihak oposisi, yang disebut kelompok pemantau lokal telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan menangkap hampir 15.000 orang. [rd/rs]