Dana Anak-Anak PBB melaporkan bahwa lebih dari 80.000 anak termasuk di antara 330.000 migran Kongo yang diusir oleh pemerintah Angola sejak awal Oktober. Para migran itu dikirim ke Provinsi Kasai, Republik Demokratik Kongo, di mana ketegangan etnis memicu konflik brutal pada tahun 2016.
Dana Anak-Anak PBB, UNICEF, melaporkan anak-anak migran, yang kebanyakan telah menjalani sebagian besar hidup mereka di Angola, menghadapi kondisi yang mengerikan. Lembaga PBB itu mengatakan ribuan anak melakukan perjalanan jauh dalam cuaca buruk, kekurangan makanan atau minuman, dan terekspos pada kekerasan. Juru bicara UNICEF Christophe Boulierac mengatakan kepada VOA kekhawatiran meningkat soal penyakit, dan badan itu sangat khawatir tentang kesehatan anak-anak itu dan keluarga mereka.
“Ada krisis malnutrisi yang sangat serius di Kasai dan anak-anak ini datang dalam situasi yang sangat buruk, kondisi yang sangat buruk dari Angola. Beberapa dari mereka menderita hipoglikemia. Dan, mungkin ada peningkatan malnutrisi, kekurangan gizi akut, yang membuat anak lebih rentan terhadap semua jenis penyakit,” kata Boulierac.
Your browser doesn’t support HTML5
Boulierac mengatakan kolera, campak dan malaria menjadi perhatian khusus dan langkah-langkah sedang diambil dalam upaya mencegah penyebaran penyakit-penyakit ini. UNICEF, katanya, sedang mendirikan titik-titik klorinasi, tempat cuci tangan dan jamban darurat. Menurut Boulierac, mereka juga berusaha menyatukan kembali anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka dan menyediakan konseling psiko-sosial bagi yang trauma dengan pengalaman mereka.
Migran Kongo, yang diusir secara paksa oleh Angola, telah bekerja di sektor pertambangan informal negara itu. UNICEF melaporkan anak-anak berumur 13 dan 14 tahun ikut menjadi tenaga kerja ilegal. Pemerintah Angola dilaporkan telah menumpas aktivitas itu dengan tujuan mengurangi penyelundupan berlian dan membuat industri pertambangan lebih transparan.
Angola membantah tuduhan pengusiran massal secara brutal, dan bersikeras bahwa para migran itu pulang dengan sukarela. Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, menyebut perpindahan massal itu sebagai pengusiran, dan mengatakan arus masuk migran itu dapat kembali memicu kekerasan antar etnis di Provinsi Kasai. [as]