Penutupan sekolah karena wabah COVID-19 membuat Cindy Vallely, Direktur Eksekutif Children Advocacy Center di Florida, merasa prihatin. “Seringkali sekolah menjadi tempat berlindung anak-anak. Dengan adanya wabah COVID-19, anak-anak tidak berada di sekolah. Pada banyak kasus, ini artinya perlindungan bagi anak tidak ada.”
Lembaga advokasi anak itu mengatakan, selama wabah COVID-19, jumlah laporan mengenai kekerasan anak ke lembaganya menurun cukup signifikan. Paling tidak dibanding periode Januari hingga Februari, jumlah laporan yang masuk selama Maret dan April menurun 11%.
Ini bukan kabar menggembirakan. Penurunan ini, katanya, tidak bisa diartikan kasus kekerasan menurun, melainkan jumlah yang dilaporkan menurun. Wabah COVID-19 telah membuat banyak anak korban kekerasan terjebak di rumah masing-masing dan tidak mendapat pertolongan.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual di Gereja Herkulanus DepokFakta serupa boleh jadi terjadi di banyak negara lain, termasuk Indonesia. Paling tidak itu dibenarkan aktivis hak anak Ikrim Maizana, seorang guru Indonesia yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
“Karena itu tidak heran bila ada anak yang awalnya terlihat ceria di sekolah, menjelang sekolah usai, terlihat ketakutan. Mereka mungkin membayangkan ketika sampai di rumah, situasinya tidak akan menyenangkan,” ujar Ikrim.
Your browser doesn’t support HTML5
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, juga ikut memprihatinkan situasi ini. Ia mengatakan, sebetulnya pada saat ini sudah banyak sekolah di Indonesia yang menerapkan kebijakan ramah anak. Dengan ditutupnya sekolah-sekolah pada masa pandemi, menurutnya, banyak anak kehilangan perlindungan dari guru mereka.
“Di sekolah-sekolah yang sudah mengimplementasikan kebijakan ramah anak, guru-guru memiliki peran untuk mengenali kekerasan yang dialami anak, termasuk juga mengenali anak-anak yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari,” papar Maria.
Di Amerika, guru dan polisi tercatat sebagai pihak yang paling banyak melaporkan kasus kekerasan terhadap anak. Sekitar, 20% kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat merupakan hasil pengaduan guru atau petugas sekolah lainnya. Ini artinya, semakin lama sekolah ditutup, semakin lama anak-anak korban kekerasan tidak mendapat pertolongan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia , Mei lalu, melaporkan, kasus kekerasan terhadap anak meningkat selama wabah COVID-19. Hanya dalam waktu tiga pekan, hingga 2 April 2020, kementerian itu mencatat ada 368 kasus kekerasan yang dialami dialami 407 anak.
BACA JUGA: Selama Pandemi Corona, Banyak Kebutuhan Anak TerabaikanKomnas Perempuan mengungkap fakta yang lebih memprihatinkan. Selama pandemi hingga pertengahan Mei, ada 340 kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan 378 korban -- 104 anak laki-laki, dan 274 anak perempuan. “Pada masa COVID ini yang terbanyak adalah kekekerasan seksual, kemudian kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Juga ada kekerasan terkait perdagangan anak. Kasus penelantaran anak juga cukup tinggi,” imbuh Maria.
Erlinda, mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengataan situasi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
“Banyak sekali anak-anak korban kekerasan, berdasarkan riset sejumlah lembaga, memiliki masa depan yang buruk. Banyak yang seumur hidup mereka mengalami trauma yang dalam,” tukasnya.
Cindy mengatakan, “Ini memprihatinkan. Sangat menakutkan.” [ab/uh]