Anak-anak Yatim Piatu Genosida Rwanda
Ratusan anak yatim piatu akibat genosida Rwanda pada 1994 masih hidup sulit di daerah kumuh Giporoso di Kigali, Rwanda, November 2013. Banyak yang menjadi pengedar narkoba atau pekerja seks untuk bertahan hidup. (VOA/Hamada Elrasam)
Para anak yatim piatu akibat genosida Rwanda, Vansing (kedua dari kiri) dan kawan-kawannya mencopet, berjudi dan berkelahi untuk bertahan hidup, di daerah kumuh Giporoso, Kigali, Rwanda. (VOA/Hamada Elrasam)
Negenzi Ali (kiri), berusia 23, membuat tato slogan terkait genosida Rwanda "never again (jangan pernah lagi)" di tangan Tomy. Ali mengatakan "Saya tidak peduli HIV menyebar melalui jarum saya. Giporoso membunuh generasi kita secara perlahan." (VOA/Hamada Elrasam)
Kuitonda David, 24, bermain bilyar di tempat kerjanya di Gibiloso, Kigali, Rwanda. (VOA/Hamada Elrasam)
Vansing (kiri), berusia 20, berkelahi dengan temannya Belusi, 19, karena ia menangkap basah Belusi mencuri darinya, di Giporoso, Kigali, Rwanda. (VOA/Hamada Elrasam)
Kuitonda David, 24, di kamarnya di tempat bilyar dimana ia bekerja. Ia bergantian tidur dalam satu ranjang di kamarnya dengan teman kerjanya, Nzamwita Afrodis, yang hidup dengan HIV, di Giporoso, Kigali, Rwanda. (VOA/Hamada Elrasam)
Shakoul, 20, anak yatim piatu akibat genosida, berbicara dengan para klien sambil menyunting video perkawinan di studionya di Giporoso, Kigali, Rwanda. (VOA/Hamada Elrasam)
Kondom bekas berserakan di tanah di daerah Gibiloso, Kigali, Rwanda. (VOA/Hamada Elrasam)
Vansing (kanan), minum sambil makan bersama kawannya Nshizirungu Amos, 20. Vansing kenal Nshizirungu Amos dari panti asuhan. Vansing mengatakan, "Kehidupan di Giblioso seperti penjara, tapi kami harus berbagi." (VOA/Hamada Elrasam)
Nshizirungu Amos (kiri) dan Vansing berjalan di antara anak-anak kecil di jalanan Giporoso, Kigali. (VOA/Hamada Elrasam)