Balita itu diketahui telah mengkonsumsi rokok setidaknya dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Otoritas kesehatan setempat, hari Rabu (23/3) menjemput balita tersebut bersama keluarganya, untuk observasi terpadu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari.
Salah satu dokter yang turut melakukan pemeriksaan, adalah dokter spesialis kesehatan jiwa, dr Ida Rochmawati.
“Saya selaku psikiater melakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi apa faktor-faktor yang mendasarinya. Apakah ini terkait dengan faktor fisik atau murni psikologi. Kami juga sudah melakukan wawancara kepada kedua orangtuanya, untuk menanyakan kronologinya, sampai anak tersebut diasumsikan kecanduan rokok,” papar Ida.
RSUD telah membentuk tim beranggotakan dokter jiwa, dokter anak, psikolog dan ahli gizi. Pemeriksaan laboratorium dan ronsen paru-paru juga dilakukan. “Kami ada dugaan ke arah diagnosa tertentu, tetapi diagnosa itu belum tegak dan kami belum bisa sampaikan. Proses ini sedang berlangsung, dan nanti setelah ada hasil laboratarium yang menunjang, maka kami akan menentukan langkah selanjutnya,” tambahnya.
Tidak ditemukan data berapa jumlah balita yang merokok di Indonesia. Ida Rochmawati sendiri mengaku, sepanjang karirnya sebagai dokter, ini adalah kasus pertamanya.
Baby Smokers Country
Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) mencatat jumlah perokok anak usia 10-18 tahun pada 2013, tercatat 7,2 persen. Jumlah itu naik menjadi 9,1 persen atau sekitar 3,2 juta anak pada data Riskesdas 2018. Data 2018 ini juga menempatkan Indonesia di urutan ketiga terbesar dunia dalam konsumsi rokok, di belakang China dan India.
Sebanyak 33,8 persen penduduk Indonesia atau 65,7 juta jiwa merupakan perokok dengan sekitar 20 persen di antaranya adalah remaja 13 sampai 15 tahun. Yang sangat memprihatinkan, 1,5 persen perokok mulai menikmati batang tembakau itu pada usia lima sampai sembilan tahun. Indonesia pun mendapat julukan baby smokers country.
Balita di Yogyakarta itu diasumsikan kecanduan rokok, karena akan mengalami tantrum ketika keinginannya merokok tidak dipenuhi. Dia tinggal bersama kedua orangtuanya, di sebuah desa yang menjadi lokasi penambangan batu kapur. Tepat di depan rumahnya, berdiri Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) tempat warga biasa berkumpul di malam hari.
Menurut penuturan ibunya, kebiasaan merokok itu diawali ketika sang anak memungut puntung rokok di depan rumah, dan menyulutnya dengan korek api. Setelah itu, dia akan meminta rokok kepada siapapun, termasuk para tetangga yang lewat di depan rumahnya.
Pengaruh Lingkungan Besar
Dari asesmen yang dilakukan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Gunungkidul, ada dugaan pengaruh lingkungan dalam kasus ini. Kepala dinas ini, Asti Wijayanti menerangkan, ayah balita yang merupakan perokok berat juga menjadi faktor.
“Sebetulnya anak tersebut hanya melihat contoh dari lingkungannya. Kebetulan rumahnya dekat dengan pos ronda. Orang-orang di pos ronda, kebanyakan bapak-bapak, itu perokok. Kemudian bekas rokoknya juga dibuang sembarangan di halaman rumah anak tersebut,” papar Asti, Rabu (23/3) di kantornya.
Ketika menemukan puntung rokok, balita tersebut meniru apa yang dilakukan ayahnya. Lambat laun, dia menikmati rokok itu dan meminta kepada siapapun yang dia temui, jika keinginan merokok datang. Dinas yang mengurusi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini, akan mendampingi orang tua Balita. Prinsipnya, kapasitas keduanya harus ditingkatkan, untuk menghadapi anak mereka yang telah kecanduan rokok.
“Orangtuanya kesulitan ketika balita itu ingin merokok, tetapi tidak ada rokok, lalu dibelikan. Kesalahannya disitu,” ujar Asti.
Sebagai psikiater, dr Ida Rochmawati juga mengakui secara umum faktor lingkungan besar pengaruhnya terhadap anak yang merokok. “Secara umum, anak adalah the great imitator, peniru yang baik. Siapa yang ditiru? Bisa orang tua, bisa lingkungan, bisa juga media sosial. Tetapi kita harus menelaah, kenapa mereka melakukan itu, apakah ada kemungkinan lain,” ujar Ida.
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak pemerintah daerah setelah, akan melakukan pendampingan. Penyuluhan kesadaran terkait rokok dan anak tidak hanya ditujukan bagi keluarga inti, tetapi lingkungan secara umum.
Perlu Dukungan Kebijakan
Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D, dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) melihat, upaya melindungi anak dari bahaya rokok di Indonesia kurang maksimal.
“Kalau kebijakan untuk pengendalian rokok Indonesia masih tertinggal, memang. Jadi, di Peraturan Pemerintah Nomor 36, tahun 2012, terkait dampak rokok terhadap kesehatan, itu sebetulnya harusnya tidak boleh untuk 18 tahun ke bawah,” kata Yayi, yang merupakan Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, di FKKMK UGM.
Dari satu sisi itu saja, Indonesia belum bisa bersikap tegas karena masih ditemukan penjualan rokok untuk anak-anak. Rokok, seharusnya juga dijual dengan harga tinggi, agar semakin tidak terjangkau anak-anak. Sejumlah negara bahkan memberikan himbauan agar tidak ada aktivitas merokok di dalam rumah, terutama yang ada anak-anak di dalamnya. Indonesia belum mampu mengambil kebijakan serupa. Di Indonesia, kata Yayi, kebijakan sejenis baru dapat diinisiasi di tingkat desa.
“Artinya perlu pengurangan lebih banyak paparan anak-anak melihat orang dewasa merokok, termasuk di televisi dan internet. Kemudian juga perlu banyak kawasan tanpa rokok, jadi keterbatasan untuk merokoknya seharusnya ada,” tandasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Di sisi lain, pemerintah juga belum menerapkan aturan terhadap displai rokok di warung atau toko, sehingga tetap mudah dilihat anak-anak. Toko modern berjejaring bahkan menempatkan rokok, tepat di belakang kasir, tidak jauh dari tumpukan permen untuk anak-anak.
“Itu juga salah satu hal yang harus kita atur. Di negara-negara yang peraturan atau kebijakan kontrol tembakaunya ketat, seperti di Thailand, rokok itu tidak di-displayed. Kalau ada yang membeli rokok, penjual harus membuka laci. Enggak kelihatan,” tegas Yayi.
Penempatan rokok yang begitu menonjol di toko, lanjutnya, membuat akses bagi anak-anak di Indonesia untuk merokok, cukup besar.
Yayi mengingatkan, melindungi anak dari bahaya rokok saat ini tidak bisa dibebankan pada keluarga saja. Justru peran lingkungan sangat menentukan. Karena itu, pimpinan wilayah terkecil, seperti rukun tetangga atau desa, harus menginisiasi peraturan untuk melindungi anak-anak dari rokok. Setidaknya, anak-anak tidak melihat orang dewasa merokok secara bebas di sekitar mereka. [ns/ab]