Analis: Ada Kaitan antara Krisis Politik di AS dan Inggris

Gedung Capitol di Washington, D.C., 7 Januari 2019. (Foto: dok).

Amerika Serikat dan Inggris dilanda krisis politik tanpa tanda-tanda akan segera berakhir. Sejumlah legislator baru AS, Rabu (16/1), mendesak Senat untuk menjadwalkan pemungutan suara terkait penutupan sebagian operasi pemerintah yang berlangsung paling lama dalam sejarah, sementara PM Inggris lolos secara tidak meyakinkan dalam menghadapi mosi tidak percaya untuk kedua kalinya dalam waktu sekitar sebulan setelah kesepakatan Brexit-nya mengalami penolakan keras di parlemen. Reporter VOA Zlatica Hoke melaporkan, sejumlah analis melihat ada kaitan antara krisis politik di kedua negara itu.

Sekelompok anggota baru Kongres dari Partai Demokrat mendesak mayoritas di Senat, Rabu, untuk melangsungkan pemungutan suara mengenai RUU anggaran yang akan mengakhiri penutupan sebagian operasi pemerintah.

"Kami serahkan RUU-RUU ke mayoritas Senat yangvoting-nya sudah mereka lakukan, dan sekarang kami memberi mereka kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan dan tidak menunggu izin dari pemerintah yang berkuasa saat ini untuk meloloskan RUU-RUU itu," kata Ilhan Abdullahi Omar dari Minnesota adalah satu di antara mereka.

Presiden AS Donald Trump, Rabu (16/1), menandatangani RUU yang memberikan kepastian pemberian gaji bagi sekitar 800.000 pegawai federal yang dirumahkan atau bekerja tanpa dibayar sejak bulan lalu. Namun ia bersikeras mengatakan, ia tidak akan mengakhiri penutupan sebagian operasi pemerintah sebelum mendapat persetujuan untuk mendapatkan dana bagi pembangunan tembok perbatasan antara AS dan Meksiko.

Aksi protes di Parliament Square, London, 15 Januari 2019. (Foto: dok)

Perdana Menteri Inggris berselisih pendapat dengan para legislator terkait kesepakatan Brexit yang dicapainya dengan Uni Eropa.

Krisis di dua demokrasi besar di Barat ini diakibatkan proyek-proyek populis, kata pakar politik Klaus Larres. "Referendum Brexit terjadi pada pertengahan tahun 2016, Trump terpilih beberapa bulan kemudian. Ada kaitan yang jelas dari kedua peristwa itu karena tahun 2016 merupakan awal kebangkitan populisme dan juga keduanya saling mendukung.”

Larres menjelaskan, Trump dan pemimpin Brexit Nigel Farage secara terbuka saling mendukung. Ia mengatakan, tembok yang diinginkan Trump dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa merupakan proyek-proyek yang dirancang untuk meredam kekhawatiran terhadap ekonomi global dan migrasi.

"Kekhawatiran akan kemerosotan ekonomi, kekhawatiran akan orang asing, kekhawatiran akan pengungsi, kekhawatiran akan kehilangan identitas nasional. Saya kira itulah yang dirasakan sejumlah besar masyarakat di Inggris dan AS."

Your browser doesn’t support HTML5

Analis: Ada Kaitan antara Krisis Politik di AS dan Inggris

Lebih jauh Larres mengatakan, kisis politik yang berkepanjangan akan melemahkan pengaruh AS dan Inggris di dunia, dan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putinmemetik keuntungan dari situasi tersebut.

"Saya kira Putin tidak memperoleh keuntungan secara langsung, namun apapun yang melemahkan persatuan sebuah pemerintah Barat yang kuat -- baik itu Inggris, Amerika Serikat atau pemerintah Barat manapun -- tidak akan baik bagi mitra-mitra AS atau mitra-mitra Inggris.”

Larres mengatakan penutupan sebagian operasi pemerintah akan berakhir ketika mulai merusak ekonomi AS. Di Ingris, katanya, krisis itu akan mendorong dilangsungkannya referendum baru di mana para pemilihnya lebih paham mengenai konsekuensi meninggalkan Uni Eropa ketimbang pada saat referendum tahun 2016. [ab]