Pemerhati dan pengamat Asia Tenggara khususnya Indonesia, sedang memusatkan perhatian pada perhelatan politik pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan berlangsung bulan April dan Juli.
Gregory B. Poling, periset Lembaga Sumitro (Sumitro Djojohadikusumo) dari program studi Asia Tenggara dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berkantor pusat di Washington DC, adalah salah seorang pakar yang mengamati proses politik ini. Dalam perbincangan dengan VOA ia mengatakan pemilu tahun ini akan menjadi peristiwa sejarah unik dan perubahan bagi Indonesia.
“Kita akan menyaksikan pergantian kekuasaan, mengingat Presiden SBY adalah presiden pertama yang terpilih secara langsung kemudian terpilih kembali. Para pakar mengatakan demokrasi belum menjadi demokrasi yang terkonsolidasi sampai ada peralihan kekuasaan secara damai. Tentu saja semua petunjuk mengenai Indonesia mengarah kesana, sehingga ini akan menjadi peristiwa besar bagi Indonesia” kata Poling.
Pemilu 2014 juga dikatakan punya arti penting bagi generasi muda, yang tumbuh di zaman demokrasi di Indonesia, mengingat banyaknya jumlah pemilih muda dalam pemilu tahun ini.
Membandingkan sistem pemilu di Amerika yang umumnya hanya diikuti dua partai sementara di Indonesia dengan multi partai, Poling mengatakan meski tidak ada yang salah dengan sistem multi partai, tapi jelas dalam pemilu-pemilu sebelumnya diikuti terlalu banyak partai, sehingga membagi suara terlampau banyak. Tapi menurutnya ada sisi positifnya, partai akan melakukan konsolidasi meski ia memperingatkan bahaya over-konsolidasi.
“Tapi mudah-mudahan bukan hanya konsolidasi jumlah partai saja namun juga diikuti dengan program kerja, sampai sekarang, khususnya dalam kasus demokrasi yang masih muda seperti di Indonesia, partai umumnya masih digerakkan oleh kepribadian pemimpinnya. Partai Demokrat belum menjadi partai sampai SBY menjadi ketuanya. Mantan presiden Megawati bertahun-tahun menjadi wajah PDIP. Ada kemungkinan kita akan melihat konsolidasi partai yang mempunyai program kerja bukan hanya berdasarkan siapa pemimpinnya,” kata Poling.
Lebih lanjut Poling mengakui program kerja partai-partai di Indonesia masih lemah, yang tampak berbeda adalah partai Islam, sedangkan partai lain termasuk partai nasional menurut Poling tidak banyak berbeda, baik dari segi kebijakan ekonomi, perdagangan, perlindungan industri dalam negeri dan jaring pengaman sosial.
Berkaitan dengan peluang partai Islam, Poling merujuk pada aturan 3,5 persen perolehan suara nasional untuk perwakilan partai tingkat nasional. Dibandingkan dalam pemilu sebelumnya yang mensyaratkan perolehan suara 2,5 persen hanya satu dari empat partai Islam pertama yang mendapat lebih dari satu poin di atas angka itu.
Dukungan terhadap partai Islam sejak merdeka, katanya terus menurun sehingga perwakilannya di parlemen dalam pemilu ini diperkirakan akan turun. Menurut Poling ada baiknya, karena akan memaksa partai Islam di Indonesia berkonsolidasi, membentuk satu atau dua partai Islam yang legitimate yang punya kekuatan dalam koalisi. Namun ia mengatakan partai-partai Islam akan menghadapi pilihan yang sulit.
Poling menolak untuk berspekulasi siapa yang akan memenangkan pemilu presiden, tapi ia yakin jika ada pasangan presiden yang menyertakan Gubernur Jakarta Joko Widodo, alias Jokowi, maka ia mungkin akan menang. Setiap jajak pendapat, kata Poling menyebutkan Jokowi akan menang dengan suara besar, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah ia akan dicalonkan atau tidak.
“Banyak orang akan mengamati keputusan yang akan dibuat PDIP, apakah Jokowi akan menjadi calon presidennya, apakah Megawati akan mundur, apakah Megawati ingin menjadi calon presiden lagi dengan Jokowi menjadi calon wakilnya, ini akan membedakan, kalau ia tidak dicalonkan, Prabowo mungkin akan menjadi calon kuat tapi ia sendiri menghadapi masalah, apakah ia bisa menggalang dukungan yang cukup untuk dicalonkan sebagai presiden tanpa harus menjadi bagian dari koalisi,” kata Poling.
Terkait peluang calon Partai Golkar, Aburizal Bakrie untuk menjadi presiden RI berikutnya, Poling tidak melihat tanda-tanda yang menggembirakan.
“Saya tidak melihat kemungkinan sejak ia dicalonkan menjadi presiden oleh Partai Golkar yang mengindikasikan ia akan menang pemilu. Saya rasa kesempatan terbaik Bakrie atau yang menjadi rencananya adalah Golkar bisa mendapat cukup dukungan untuk mendapat perwakilan yang lebih kuat di parlemen dan itu akan memberi mereka cukup kekuatan untuk membentuk koalisi jika misalkan Partai Gerindra tidak mendapat cukup perwakilan dari 20 persen yang dibutuhkan untuk memilih Prabowo sendiri, maka ini akan memberi Aburizal Bakrie kesempatan untuk mengatakan ia bisa menjadi wakil presiden dan Partai Gerindra membutuhkan Golkar untuk membentuk koalisi. Itulah kesempatan terbaiknya,” kata Poling.
Kebijakan luar negeri Indonesia pasca pemilu, menurut Poling tidak akan banyak mengalami perubahan Indonesia akan terus mempertahankan sikapnya sebagai negara non aliansi, terus memusatkan perhatian dan perannya pada ASEAN dan pertumbuhan kawasan. Indonesia ujarnya akan menjadi sahabat Amerika tapi tidak akan menjadi partner strategis atau sekutu dalam waktu dekat. Setidaknya, kata Gregory Poling kebijakan luar negeri Indonesia setelah 2014 akan mirip seperti sekarang.
Sebagai seorang pengamat dan analis politik, Poling mengatakan akan mengamati siapa yang akan mendapat perwakilan terbanyak di parlemen dalam pemilu bulan April, dengan kata lain berapa banyak perolehan Golkar vs PDIP vs Gerindra, tergantung siapa yang akan mendapat dibawah margin 20 persen, yang akan mengubah kekuatan partai yang lebih kecil, seperti partai Islamis, juga partai kecil lainnya seperti Nasdem untuk membentuk koalisi. Selain itu yang menarik baginya adalah keikutsertaan generasi muda dalam pemilu tahun ini.
“Saya rasa akan menjadi indikasi kuat seberapa terlibat kalangan muda Indonesia dalam proses pemilu mendatang, saya juga akan mengamati bagaimana para kandidat membedakan diri dalam program kerja partai, seberapa kuat mereka akan menjalankan amanat partai karena apa yang diperlukan Indonesia di masa yang akan datang adalah konsolidasi yang lebih besar dalam kebijakan partai, jadi para pemilih tidak akan memilih salah satu superstar tapi akan memilih partai itu sendiri. Perubahan itu akan terjadi setelah melewati beberapa pemilu tapi mudah-mudahan akan dimulai tahun ini” kata Poling.
Ia menegaskan pemilu Indonesia akan berjalan lancar dan ada presiden baru yang menjadikan Indonesia demokrasi yang paling terkonsolidasi di Asia Tenggara.
“Kita akan menyaksikan pergantian kekuasaan, mengingat Presiden SBY adalah presiden pertama yang terpilih secara langsung kemudian terpilih kembali. Para pakar mengatakan demokrasi belum menjadi demokrasi yang terkonsolidasi sampai ada peralihan kekuasaan secara damai. Tentu saja semua petunjuk mengenai Indonesia mengarah kesana, sehingga ini akan menjadi peristiwa besar bagi Indonesia” kata Poling.
Pemilu 2014 juga dikatakan punya arti penting bagi generasi muda, yang tumbuh di zaman demokrasi di Indonesia, mengingat banyaknya jumlah pemilih muda dalam pemilu tahun ini.
Membandingkan sistem pemilu di Amerika yang umumnya hanya diikuti dua partai sementara di Indonesia dengan multi partai, Poling mengatakan meski tidak ada yang salah dengan sistem multi partai, tapi jelas dalam pemilu-pemilu sebelumnya diikuti terlalu banyak partai, sehingga membagi suara terlampau banyak. Tapi menurutnya ada sisi positifnya, partai akan melakukan konsolidasi meski ia memperingatkan bahaya over-konsolidasi.
“Tapi mudah-mudahan bukan hanya konsolidasi jumlah partai saja namun juga diikuti dengan program kerja, sampai sekarang, khususnya dalam kasus demokrasi yang masih muda seperti di Indonesia, partai umumnya masih digerakkan oleh kepribadian pemimpinnya. Partai Demokrat belum menjadi partai sampai SBY menjadi ketuanya. Mantan presiden Megawati bertahun-tahun menjadi wajah PDIP. Ada kemungkinan kita akan melihat konsolidasi partai yang mempunyai program kerja bukan hanya berdasarkan siapa pemimpinnya,” kata Poling.
Lebih lanjut Poling mengakui program kerja partai-partai di Indonesia masih lemah, yang tampak berbeda adalah partai Islam, sedangkan partai lain termasuk partai nasional menurut Poling tidak banyak berbeda, baik dari segi kebijakan ekonomi, perdagangan, perlindungan industri dalam negeri dan jaring pengaman sosial.
Berkaitan dengan peluang partai Islam, Poling merujuk pada aturan 3,5 persen perolehan suara nasional untuk perwakilan partai tingkat nasional. Dibandingkan dalam pemilu sebelumnya yang mensyaratkan perolehan suara 2,5 persen hanya satu dari empat partai Islam pertama yang mendapat lebih dari satu poin di atas angka itu.
Dukungan terhadap partai Islam sejak merdeka, katanya terus menurun sehingga perwakilannya di parlemen dalam pemilu ini diperkirakan akan turun. Menurut Poling ada baiknya, karena akan memaksa partai Islam di Indonesia berkonsolidasi, membentuk satu atau dua partai Islam yang legitimate yang punya kekuatan dalam koalisi. Namun ia mengatakan partai-partai Islam akan menghadapi pilihan yang sulit.
Poling menolak untuk berspekulasi siapa yang akan memenangkan pemilu presiden, tapi ia yakin jika ada pasangan presiden yang menyertakan Gubernur Jakarta Joko Widodo, alias Jokowi, maka ia mungkin akan menang. Setiap jajak pendapat, kata Poling menyebutkan Jokowi akan menang dengan suara besar, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah ia akan dicalonkan atau tidak.
“Banyak orang akan mengamati keputusan yang akan dibuat PDIP, apakah Jokowi akan menjadi calon presidennya, apakah Megawati akan mundur, apakah Megawati ingin menjadi calon presiden lagi dengan Jokowi menjadi calon wakilnya, ini akan membedakan, kalau ia tidak dicalonkan, Prabowo mungkin akan menjadi calon kuat tapi ia sendiri menghadapi masalah, apakah ia bisa menggalang dukungan yang cukup untuk dicalonkan sebagai presiden tanpa harus menjadi bagian dari koalisi,” kata Poling.
Terkait peluang calon Partai Golkar, Aburizal Bakrie untuk menjadi presiden RI berikutnya, Poling tidak melihat tanda-tanda yang menggembirakan.
“Saya tidak melihat kemungkinan sejak ia dicalonkan menjadi presiden oleh Partai Golkar yang mengindikasikan ia akan menang pemilu. Saya rasa kesempatan terbaik Bakrie atau yang menjadi rencananya adalah Golkar bisa mendapat cukup dukungan untuk mendapat perwakilan yang lebih kuat di parlemen dan itu akan memberi mereka cukup kekuatan untuk membentuk koalisi jika misalkan Partai Gerindra tidak mendapat cukup perwakilan dari 20 persen yang dibutuhkan untuk memilih Prabowo sendiri, maka ini akan memberi Aburizal Bakrie kesempatan untuk mengatakan ia bisa menjadi wakil presiden dan Partai Gerindra membutuhkan Golkar untuk membentuk koalisi. Itulah kesempatan terbaiknya,” kata Poling.
Kebijakan luar negeri Indonesia pasca pemilu, menurut Poling tidak akan banyak mengalami perubahan Indonesia akan terus mempertahankan sikapnya sebagai negara non aliansi, terus memusatkan perhatian dan perannya pada ASEAN dan pertumbuhan kawasan. Indonesia ujarnya akan menjadi sahabat Amerika tapi tidak akan menjadi partner strategis atau sekutu dalam waktu dekat. Setidaknya, kata Gregory Poling kebijakan luar negeri Indonesia setelah 2014 akan mirip seperti sekarang.
Sebagai seorang pengamat dan analis politik, Poling mengatakan akan mengamati siapa yang akan mendapat perwakilan terbanyak di parlemen dalam pemilu bulan April, dengan kata lain berapa banyak perolehan Golkar vs PDIP vs Gerindra, tergantung siapa yang akan mendapat dibawah margin 20 persen, yang akan mengubah kekuatan partai yang lebih kecil, seperti partai Islamis, juga partai kecil lainnya seperti Nasdem untuk membentuk koalisi. Selain itu yang menarik baginya adalah keikutsertaan generasi muda dalam pemilu tahun ini.
“Saya rasa akan menjadi indikasi kuat seberapa terlibat kalangan muda Indonesia dalam proses pemilu mendatang, saya juga akan mengamati bagaimana para kandidat membedakan diri dalam program kerja partai, seberapa kuat mereka akan menjalankan amanat partai karena apa yang diperlukan Indonesia di masa yang akan datang adalah konsolidasi yang lebih besar dalam kebijakan partai, jadi para pemilih tidak akan memilih salah satu superstar tapi akan memilih partai itu sendiri. Perubahan itu akan terjadi setelah melewati beberapa pemilu tapi mudah-mudahan akan dimulai tahun ini” kata Poling.
Ia menegaskan pemilu Indonesia akan berjalan lancar dan ada presiden baru yang menjadikan Indonesia demokrasi yang paling terkonsolidasi di Asia Tenggara.