Iran mengumumkan pada hari Senin (1/7) bahwa persediaan uranium yang diperkaya dalam kadar rendah yang dimilikinya telah melampaui batas maksimum yang disepakati dalam kesepakatan internasional 2015. Langkah ini bertujuan untuk memaksa para penandatangan perjanjian nuklir itu agar memberikan keringanan sanksi Amerika kepada Iran. Berikut laporan Zlatica Hoke dari VOA tentang pembahasan terkait konsekuensi tindakan Iran tersebut dengan dua ahli tentang masalah Iran.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, Senin (1/7) mengatakan bahwa Iran bertindak sesuai dengan hak-haknya yang diatur dalam perjanjian internasional yang ditinggalkan oleh pemerintahan Donald Trump tahun lalu.
Menteri luar negeri Iran itu menyatakan, “Persediaan uranium Iran telah melampaui batas 300 kilogram seperti yang telah kami umumkan sebelumnya. Kami mengatakan dengan sangat jelas apa yang akan kami lakukan, dan menindaklanjutinya. Kami menganggapnya sebagai hak kami berdasarkan perjanjian internasional.”
Para pemimpin Iran berusaha mendapatkan posisi tawar dalam perjuangan mereka untuk memperoleh bantuan keringanan sanksi yang diberlakukan oleh Amerika kata analis Katherine Bauer dari Washington Institute for Near East Policy, lembaga kajian kebijakan Timur Dekat di Washington, D.C.
“Mereka tidak perlu mencari cara untuk mengekspor uranium yang diperkaya dengan kadar rendah. Mereka mencari cara untuk mendapatkan bantuan ekonomi, untuk memperoleh posisi tawar, dengan harapan bahwa hal itu berarti mereka bisa duduk kembali ke meja perundingan. Tetapi, saya kira itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.”
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintahan Trump telah memberlakukan sanksi ekonomi yang keras terhadap Iran untuk melumpuhkan ekonominya dan memaksanya menyetujui negosiasi ulang mengenai kesepakatan nuklir yang dianggap tidak memadai oleh Presiden Amerika Donald Trump. Iran tampaknya tidak akan melakukan hal itu dalam waktu dekat, kata analis Alan Makovsky dari Center for American Progress on U.S.-Iran Relations, yakni pusat kajian untuk hubungan Amerika-Iran di Washington, D.C.
"Saya kira Iran mengetahui bahwa mereka tidak akan bisa melakukan perundingan itu, terutama tidak di bawah pemerintahan Trump. Saya pikir mereka berharap Trump akan dikalahkan pada tahun 2020 dan mereka akan memiliki awal yang baru,” jelasnya.
Makovsky mengatakan bahwa Teheran akan malu besar jika bersedia kembali ke meja perundingan. Sebaliknya, Iran kemungkinan besar terlibat dalam provokasi, seperti mempersenjatai pemberontak Huthi di Yaman dan melakukan serangan melalui pihak ketiga.
Alan Makovsky dari Center for American Progress kembali mengatakan, “Menggunakan proxy adalah salah satu cara yang paling disukai oleh Iran untuk menanggapi sanksi dan kebijakan lain dari Amerika Serikat yang ditentangnya karena aksi melalui pihak ketiga itu memberi kesempatan bagi mereka untuk melakukan penyangkalan yang masuk akal.”
BACA JUGA: Menlu Iran: AS Harus Hormati Iran Jika Ingin BernegosiasiBaik Iran maupun Amerika Serikat mengatakan tidak menginginkan perang. Presiden Amerika Donald Trump telah ditekan oleh mereka yang menginginkan tanggapan militer terhadap provokasi Iran dan mereka yang mendesak agar dilakukan peredaan ketegangan. Dia mengatakan tidak akan terburu-buru untuk merespons.
“Sanksi sedang diberlakukan dan saya tidak terburu-buru. Saya tidak terburu-buru dengan Iran. Jika Anda terburu-buru, Anda akan terjerumus ke dalam kesulitan,” imbuhnya.
Sebagian analis mengatakan tidak jelas apakah sanksi itu akan menghasilkan efek yang diinginkan, dan jika ya, kapan pengaruh itu akan dirasakan. Makovsky menunjukkan bahwa Irak di bawah Saddam Hussein mampu bertahan. Selain itu, Korea Utara telah melakukan enam kali uji coba senjata nuklir meskipun telah bertahun-tahun mendapat sanksi internasional. [lt/ab]