Langkah terbaru Presiden China Xi Jinping untuk meningkatkan kekuatan Partai Komunis dan memperketat cengkeramannya pada masyarakat adalah manifestasi dari ideologi Komunis dan kemungkinan akan mengakibatkan peningkatan penindasan di dalam negeri dan memperuncing konflik dengan pihak Barat, ungkap para analis.
Sidang parlemen nasional tahunan, yang berakhir pada Senin (13/3), mengesahkan reformasi yang akan meningkatkan kontrol partai atas lembaga-lembaga negara.
Kongres Rakyat Nasional pada Jumat (10/3) lalu menyetujui rencana untuk mengatur kembali lembaga-lembaga pemerintah pusat di bawah Dewan Negara, atau Kabinet, termasuk pembentukan badan pengatur keuangan, biro data nasional, dan pembenahan kementerian sains dan teknologinya. Rencana reformasi kelembagaan partai dijadwalkan selesai setelah akhir sesi parlemen pada Senin.
Sejak Xi berkuasa, dia telah memimpin dua putaran reformasi – pada 2013 dan 2018 – membentuk kelompok partai untuk mengawasi perubahan kebijakan dalam hukum dan ketertiban, urusan luar negeri, keuangan dan keamanan.
Selama 10 tahun terakhir, Partai Komunis telah beralih dari kepemimpinan kolektif dengan sekretaris jenderal, yang dianggap pertama di antara yang sederajat di Komite Tetap Politbiro elit — sebuah praktik yang didirikan di era “reformasi dan keterbukaan” setelah Revolusi Kebudayaan — menjadi kepemimpinan tertinggi Xi, kata para analis.
Pada tahun 2018, anggota parlemen China mengamandemen konstitusi yang menghapuskan batasan masa jabatan presiden – membuka jalan bagi Xi untuk memerintah seumur hidup.
Sejumlah analis mengatakan reformasi yang dilakukan Xi merupakan kebalikan dari kebijakan "reformasi dan pembukaan" yang diluncurkan oleh pemimpin penting China sebelumnya Deng Xiaoping pada 1978, yang bertujuan untuk mengurangi peran partai dalam pemerintahan. Mereka mengatakan agenda Xi akan memberikan wewenang besar kepada partai untuk mengatur kebijakan, di saat Dewan Negara dan kementerian kemungkinan tidak akan melihat bahwa sejumlah kebijakan itu benar-benar dijalankan.
BACA JUGA: Jenderal Li Shangfu, Wajah Ekspansi Kekuatan Militer China"Xi berpikir dia adalah Mao (Zedong) versi abad ke-21. Dia merasa sangat yakin pada paham sosialismenya dan merasa bahwa dialah yang bisa mencapai segalanya," kata Willy Lam, rekan senior di Yayasan Jamestown yang berbasis di Washington.
Chen Daoyin, mantan profesor kolega di Departemen Politik dan Hukum di Universitas Shanghai, mengatakan preferensi Xi untuk "jizhong liliang bandashi (berfokus pada hal-hal besar)" berakar dari paham Marxisme-Leninisme.
"Pada dasarnya, Partai Komunis memiliki naluri untuk mengontrol. Mereka hanya berbagi kekuasaan ketika mereka tidak memiliki pilihan lain," ujar Chen, seraya menambahkan bahwa pandangan Lenin soal "pembangunan partai" mengacu pada pemahaman bahwa kekuatan harus pasti berada di tangan para pemimpin. [lt/rs]