Analis: Penjualan Senjata AS di Asia Diperkirakan Melonjak

BF-3, salah satu jenis pesawat tempur F-35, saat uji coba di Sungai Patuxent, Maryland, awal 2012. (Reuters/Andy Wolfe/Lockheed Martin)

Penjualan senjata dari Amerika ke Asia Pasifik diperkirakan akan melonjak seiring isu keamanan di wilayah tersebut, terutama terkait Tiongkok dan Korea Utara.
Penjualan pesawat tempur, sistem anti misil dan senjata mahal lainnya dari Amerika Serikat ke negara-negara tetangga Tiongkok dan Korea Utara sepertinya akan mengalami pertumbuhan signifikan di tengah keresahan soal keamanan regional.

Penguatan sekutu dan mitra keamanan lain merupakan fokus “pergerakan” Gedung Putih ke daerah Pasifik yang dipicu sengketa wilayah maritim pada kasus Tiongkok, dan program misil dan nuklir, pada kasus Korea Utara.

Pergerakan ini “akan meningkatkan kesempatan bagi industri di AS untuk membantu memperlengkapi (persenjataan) kawan-kawan kita,” ujar Fred Downey, wakil presiden keamanan nasional dari Asosiasi Industri Kedirgantaraan, sebuah kelompok perdagangan yang mencakup produsen-produsen senjata top di Amerika.

Permintaan akan senjata dari Amerika diperkirakan akan tetap kuat sedikitnya dalam beberapa tahun ke depan, menurut kajian akhir tahun dan perkiraan dari kelompok perdagangan tersebut yang dirilis Desember.

Kelompok tersebut, dengan anggota-anggota termasuk pemasok Kementerian Pertahanan AS, atau Pentagon, yaitu Lockheed Martin Corp, Boeing Co dan Northrop Grumman Corp, tidak menyebut angka untuk perkiraan 2013. Demikian juga dengan Lembaga Kerja Sama Keamanan Pertahanan di Pentagon, yang melihat lonjakan kontrak di seluruh dunia di bawah Presiden Barack Obama.

Badan keamanan tersebut menyatakan bahwa persetujuan penjualan dengan negara-negara di wilayah aktivitas Komando Pasifik AS naik menjadi US$13,7 miliar pada tahun fiskal 2012, meningkat 5,4 persen dari tahun sebelumnya. Perjanjian-perjanjian tersebut mewakili pesanan-pesanan di tahun-tahun berikutnya.

Pada 2012, ada sekitar 65 notifikasi kepada Kongres mengenai proposal penjualan alat militer luar negeri dengan makelar pemerintah, yang memiliki nilai potensial lebih dari $63 miliar. Sebagai tambahan, kantor Kementerian Luar Negeri yang mengatur penjualan komersial langsung menerima lebih dari 85.000 permintaan ijin pada 2012, yang merupakan rekor baru.

Secara keseluruhan, Amerika Serikat mencapai persetujuan transfer senjata pada 2011 dengan total $66,3 miliar, atau hampir 78 persen dari persetujuan serupa di seluruh dunia, menurut lembaga non-partisan Layanan Riset Kongres.

Jumlah total pada 2011 termasuk rekor kontrak $33,4 miliar dengan Arab Saudi, diikuti dengan $6,9 miliar dengan India.

Rupert Hammond-Chambers, konsultan para produsen senjata AS melalui BowerGroupAsia, sebuah lembaga konsultan dengan 10 kantor di wilayah Asia Pasifik, memperkirakan anggaran pertahanan Asia Tenggara akan meningkat dengan stabil seiring kekhawatiran akan ketegasan Tiongkok dalam sengketa mengenai Laut China Selatan dan Timur.

Produk teratas yang ditawarkan AS saat ini adalah pesawat tempur F-35 penghindar radar dari Lockheed Martin, dengan tiga varian yang merupakan program senjata Pentagon yang paling mahal. Jepang sudah memilih pesawat ini untuk menggantikan F-45 yang menua, dengan nilai kontrak lebih dari $5 miliar. F-35 juga sedang dipertimbangkan oleh Singapura dan Korea Selatan, yang juga menawar dari rival Eurofighter Typhoon dan F-15 Silent Eagle dari Boeing. Kompetisi Korea adalah untuk pesanan 60 pesawat senilai lebih dari $7 miliar.

Penjualan senjata dari AS ke India, sekarang mencapai angka kumulatif $8 miliar dari hampir nol pada 2008, diharapkan terus melesat. India berencana menghabiskan sekitar $100 miliar dalam 10 tahun ke depan untuk meningkatkan persenjataannya, sebagian untuk menghadapi Tiongkok.

Laksamana Samuel Locklear, komandan pasukan AS di Pasifik yang berbasis di Hawaii, mengatakan bahwa salah satu tugas utamanya untuk “menyeimbangkan kembali” Pasifik adalah memodernisasi dan memperkuat aliansi kerja sama Amerika dengan Australia, Jepang, Korea Selatan, Filipina dan Thailand. (Reuters/Jim Wolf)