Yayasan Pusaka mencatat mayoritas kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua berkaitan dengan aksi demonstrasi. Dalam paparan penyampaian laporan, Ambrosius Mulait dari Yayasan Pusaka memberi contoh kasus-kasus yang mereka temukan seperti pelabelan menggunakan pasal-pasal makar terhadap aksi damai masyarakat Papua. Selain itu, pembatasan aksi juga dilakukan dengan berbagai alasan.
“Ketika para aktivis dan masyarakat Papua melakukan proses, dibatasi ekspresi mereka dengan alasan pandemi, terus dibatasi ekspresi mereka dengan alasan surat izin dan sebagainya,” kata Ambros, Rabu (3/5) di Jakarta.
Laporan tersebut memuat 26 kasus pelanggaran HAM di Papua yang terkait dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi. Laporan bertajuk “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”, itu mencatat sejumlah kasus tersebut terjadi di Jayapura, Nabire, Merauke, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana dan Sorong. Serangkaian aksi protes yang digelar untuk menentang kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), dan menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di provinsi paling timur Indonesia itu dibalas dengan tindakan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi.
BACA JUGA: Pers Papua: Menjaga Kredibilitas Laporan Jurnalistik di Tengah KonflikYayasan Pusaka melaporkan, dalam kasus yang terkait kebebasan berekspresi, setidaknya mereka mencatat tiga korban meninggal dunia, 72 orang mengalami luka-luka, 361 orang ditangkap sewenang-wenang, 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, dengan 18 diantaranya dikenakan pasal makar dengan ancaman penjara seumur hidup.
Sementara secara keseluruhan, laporan tersebut mencatat terdapat 46 kasus pelanggaran HAM di Papua sepanjang 2022 dengan 348 korban. Dari sejumlah aksi tersebut, tiga pelaku utama yang dianggap bertanggung jawab adalah aparat TNI, polisi dan TPNPB. Seluruh kasus pelanggaran HAM pada tahun 2022 itu mengakibatkan 22 anak dan 31 perempuan menjadi korban, dan 26 orang meninggal dunia.
Di luar isu kebebasan berekspresi, berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Papua mencakup penangkapan sewenang-wenang dan penembakan diluar hukum. Kasus penembakan tersebut terutama terjadi di berbagai wilayah, seperti Lanny Jaya, Tolikara, Yahukimo, Timika, dan Sorong.
Pelanggaran HAM juga terjadi dalam bentuk penembakan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Pihak yang menjadi korban biasanya adalah masyarkaat non orang asli Papua, di mana mereka dituduh sebagai informan aparat keamanan. Peristiwa semacam itu lebih banyak terjadi di kawasan pegunungan yang menjadi pusat konflik bersenjata, seperti Nduga, Intan Jaya dan Pegunungan Bintang. Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM juga kerap terjadi, karena konflik horizontal, sebagai dampak kehadiran investasi di Papua.
Laporan Komprehensif dan Kredibel
Pihak Yayasan Pusaka mengklaim bahwa laporan yang mereka buat tersebut akurat, karena disusun menggunakan metodologi berbasis peristiwa yang dikembangkan oleh Human Rights Documents (Huridocs). Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, Franky Samperante menyatakan, mereka telah mengembangkan sistem pemantauan pelanggaran HAM berbasis peristiwa.
“Sistem yang kami kembangkan ini, sangat membantu sekali. Apalagi kami sadari, bahwa apa yang telah dilakukan selama ini, sebelum 2022, dengan sistem pencatatan biasa, itu seringkali mendapatkan komplain, bahwa data yang dikeluarkan tidak cukup akurat (untuk) menggambarkan peristiwa atau pelanggan HAM yang terjadi,” ujar Franky.
Penyusunan laporan juga menggunakan standar internasional sehingga data-data yang tersaji terverifikasi. Di luar data yang dilaporkan, Franky mengklaim ada banyak laporan pelanggaran HAM di Papua, namun tidak dapat dimasukkan karena tidak dapat diverifikasi.
“Kami mengupayakan, supaya laporan-laporan ini benar-benar akurat dan terverifikasi, sehingga bisa diterima untuk mengimbangi informasi-informasi yang disampaikan oleh media sosial maupun media mainstream yang ada di luar Papua,” tegas Franky.
DOB-Otsus Dominasi 2022
Aktivis Papua sekaligus pegiat gereja, Esther Haluk mengakui, isu DOB dan Otsus mendominasi kisruh yang terjadi di Papua tahun lalu. Esther sendiri menjadi salah satu demonstran yang ditangkap dalam aksi penolakan DOB pada 10 Mei 2022.
“Karena menurut kami, implementasi Otsus selama 20 tahun itu tidak pernah dievaluasi, kemudian keberlanjutan Otsus ini sebenarnya menguntungkan siapa,” kata dia.
DOB juga menyita perhatian masyarakat Papua, karena diyakini akan menjadi jalan masuk migrasi warga pendatang ke wilayah itu.
“Kenapa kami menolak DOB? Menurut kami, ini adalah bagian dari settler colonialism, yang memberikan dampak pada masyarakat kami. Secara faktanya, kami sudah sangat terpinggirkan, sudah menjadi minoritas,” tambah Esther.
Pelanggaran HAM Khas Papua
Menanggapi laporan tersebut, Ketua Komnas HAM, Dr. Atnike Nova Sigiro mengkritisi cara aparat keamanan menangani aksi terkait kebebasan berekspresi. Sebagai kegiatan yang tidak mengancam, aksi demonstrasi sebagai bentuk kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum, juga dilindungi undang-undang.
“Kita perlu melihat, mengapa aksi-aksi yang dilakukan secara damai, kemudian direspons secara berlebihan. Yang kemudian, dalam beberapa kasus, tadi disebutkan, mengakibatkan korban jiwa, mengakibatkan pemidanaan yang berlebihan, terhadap orang-orang yang terlibat di dalam kebebasan berekspresi dan berkumpul,” kata Nova.
Laporan Yayasan Pusaka ini menurut Nova menjadi penting, untuk mengingatkan pemerintah, aparat keamanan dan penegak hukum, untuk melihat bahwa aksi kebebasan berpendapat seharusnya bisa menjadi sarana artikulasi masyarakat Papua secara damai. Dampak lanjutannya, menurut Nova, eskalasi konflik yang terjadi di Papua dapat dikurangi atau dicegah.
Peneliti dan aktivis HAM, Papang Hidayat berharap laporan Yayasan Pusaka ini menjadi menjadi bahan advokasi ke depan. Papua, kata dia memiliki sejumlah pola khas yang bisa ditemukan, dalam isu-isu HAM. Misalnya, terkait demonstrasi, hanya di Papua aksi bisa dibatalkan bahkan sebelum dilakukan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Pelanggaran HAM dalam menyampaikan aspirasi, pendapat di muka umum, itu ada juga yang khas Papua. Ada enggak di mana di tempat lain, orang baru ngasih surat pemberitahuan, itu langsung ditangkap. Saya kira ini jarang sekali,” tegas Papang.
Persoalam HAM di Papua, dinilai Papang adalah yang paling lengkap dibanding daerah lain di Indonesia. Akar masalahnya, membentang dari problem pertanahan hingga soal nyawa.
Laporan terkait pelanggaran HAM dalam aksi-aksi demonstrasi ini, lanjut dia, juga menunjukkan kelemahan Indonesia dalam penegakan HAM.
“Pelanggaran hak asasi manusia di seputar aksi-aksi menyampaikan pendapat secara damai, dalam konteks penolakan DOB dan Otsus, itu ada di level, dimana mekanisme HAM yang ada di Indonesia, punya kelemahan,” ucapnya. [ns/rs]