Para pemimpin Turki akan mengamati dengan seksama pemilu Jerman pada 26 September, yang menandai berakhirnya masa jabatan panjang Kanselir Angela Merkel. Merkel mempunyai jalinan kerja yang kuat dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, ketika hubungannya dengan para pemimpin Barat lainnya tegang karena berbagai masalah termasuk mengenai isu migrasi.
Pemekaran universitas Turki-Jerman di Istanbul dengan cepat adalah salah satu tanda yang paling tampak dari hubungan baik yang terjalin antara pemimpin kedua negara tersebut.
“Mereka menjalin hubungan, itu bagian yang terpenting, karena tidak mudah menjalin hubungan dengan Erdogan, dan mereka melakukannya. Menurut saya, itu hubungan kerja terbaik yang dijalin Turki dalam hubungan luar negerinya saat ini,” kata Sezin Oney, Kolumnis untuk media Turki Duvar News Portal.
BACA JUGA: Merkel: Uni Eropa Harus Tepati Janjinya terhadap Negara BalkanKerjasama itu berupa kesepakatan pengungsi 2016 antara Ankara dan Uni Eropa yang membuat Turki menampung jutaan pengungsi Suriah dengan imbalan bantuan miliaran dolar, sehingga menyatukan Erdogan dan Merkel.
“Sangat jelas Merkel adalah orang yang benar-benar akan maju dan berbicara dengan Erdogan. Jadi, faktor tersebut sangat menentukan," kata Zeynep Alemdar dari Universitas Okan Istanbul.
Tetapi para pengkritik menyebut perjanjian pengungsi itu sebagai kesepakatan yang kotor. Mereka menuduh tekad Merkel untuk mempertahankan perjanjian itu merupakan bagian dari upaya untuk meredam kritik terhadap catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Turki yang memburuk.
BACA JUGA: Kepala Negara Uni Eropa Bahas Tantangan Terkait Virus dan VaksinasiBerlin menyatakan pihaknya terus mengangkat masalah HAM dengan Turki, tetapi hal itu dilakukannya di belakang layar.
Dengan diadakannya pemilu di Jerman untuk mengakhiri kekuasaan Merkel, para analis memperkirakan, Turki akan kehilangan kanselir Jerman itu yang dilihat oleh banyak orang di sini sebagai pelindungnya di Uni Eropa. (ps/ka)