Seorang perempuan berinisial RA mengaku telah diperkosa oleh mantan atasannya yang merupakan anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan berinisial SAB. RA yang bekerja sebagai Tenaga Kontrak Asisten Ahli Dewas BPJS-TK sejak April 2016 mengaku telah diperkosa oleh SAB dalam periode April 2016 hingga November 2018.
RA juga mengaku, di luar itu, dirinya kerap mengalami tindakan pelecehan seksual yang berulang kali, baik di dalam maupun di luar kantor.
"Dalam Periode April 2016-November 2018, saya menjadi korban empat kali tindakan pemaksaan hubungan seksual (perkosaan) oleh oknum yang sama: di Pontianak, (23 September 2016), di Makassar (9 November 2016) , di Bandung (3 Desember 2017), dan di Jakarta (16 Juli 2018)," jelasnya.
Dalam konferensi pers, di Jakarta, Jumat (28/12) RA mengatakan perkosaan dan pelecehan seksual berulang kali terjadi karena dirinya merasa takut dengan sosok SAB yang adalah tokoh yang sangat dominan, dihormati, dan bahkan ditakuti di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan. Dirinya takut, SAB akan melakukan kekerasan fisik dan menghancurkan hidupnya. Selain itu, ia khawatir akan kehilangan pekerjaannya di Dewas BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan sumber penghasilannya.
Bahkan, dirinya sempat hampir mau bunuh diri akibat peristiwa ini, namun beruntung dapat dihentikan oleh rekannya. Setelah gagal bunuh diri, RA mencoba untuk bangkit melawan terduga pemerkosa, agar ke depan tidak ada lagi korban seperti dirinya.
RA pun mulai bertindak dengan melaporkan ke Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan atas perilaku perkosaan tersebut pada Awal Desember 2018. Namun, anggota Dewan Pengawas yang lain malah membela perbuatan pelaku. Bukan hanya itu, berdasarkan hasil rapat Dewan Pengawas pada 4 Desember, RA malah di-PHK.
Ade Armando yang mendampingi RA mengatakan, bahwa RA telah mengirim surat ke Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) yang memiliki kewenangan merekomendasikan pemberhentian anggota Dewan Pengawas BPJS-TK kepada Presiden, atau merekomendasikan instansi, dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk menarik orang yang dikirimnya menjadi anggota Dewan Pengawas BPJS-TK.
Selain itu, menurut Ade, RA telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi tiga tuntutan yaitu pertama pemecatan atas terduga pelaku dan yang melindungi terduga pelaku secara menyeluruh. Kedua, RUU PKS untuk segera disahkan, agar tidak ada lagi korban seperti RA dan mendukung RA baik dalam proses perdata, pidana, ataupun hubungan industrial.
"Gugatannya? Pecat, tarik, tapi dewan pengawas tanggung jawab dong kenapa orang melapor tapi malah diberhentikan. Dewan pengawas melakukan pembiaran, perlindungan. Pak Adit (anggota Dewan Pengawas BPJS-TK) sudah tahu itu terjadi dari 2016," kata Ade.
Ade juga menjelaskan, RA juga tidak bisa melaporkan terduga pelaku kepada pihak kepolisian atas tuduhan perkosaan karena bukti-bukti yang tidak cukup. Dalam UU Pidana yang berlaku saat ini tuduhan perkosaan harus dibarengi dengan bukti adanya penetrasi dan sperma. Oleh karena itu dirinya mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera di sahkan, agar korban perkosaan seperti RA mendapatkan keadilan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan bahwa terduga pelaku, dikenal suka melakukan hal yang tidak patut kepada karyawan, seperti kerap memecat seenaknya, dan juga berkata kasar. Selain kasus ini, pihaknya juga mempunyai data yang menunjukkan bahwa tersangka pelaku diduga melakukan korupsi.
Your browser doesn’t support HTML5
"Bahwa SAB ini sudah punya persoalan sebelumnya, jadi kami pun dari BPJS Watch tahun lalu memang melaporkan bersama dengan serikat pekerja BPJS Ketenagakerjaan terkait tindak tanduk dia yang suka memaki-maki bawahannya. Dia memecat, lalu memaki dengan bahasa hewan yang juga kepada Deputi, sampai akhirnya dia dilaporkan ke DJSN. DJSN sudah mengirimkan ke Kemenkeu, ke Kemenkeu akhirnya tidak dilanjutkan. Jadi memang kami mendorong supaya persoalan tidak berujung di kemenkeu, tapi di Presiden, karena Presiden menurut UU no 24 tahun 2011 yang memiliki hak preogatif untuk menarik dewan pengawas, karena dia unsur pemerintah," kata Timboel.
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan pihaknya akan melakukan pendampingan dan mendukung RA dalam setiap langkah hukumnya. Ia menjelaskan, memang Komnas Perempuan tidak menangani secara langsung sebuah kasus. Namun sesuai dengan mandat UU pihaknya akan mendorong kepada pihak pemerintah dan lembaga lainnya untuk melakukan advokasi yang berkaitan dengan kepentingan kaum perempuan seperti mendorong segera disahkannya RUU PKS.
"Kami punya cara sendiri untuk ini ya, misalnya banyak juga kasus yang sudah mengadukan ke komnas perempuan. Tentu fungsi kami, kami lakukan sesuai dengan mandat kami, kami tidak menangani case by case, tetapi melihat persoalan ini, hal-hal apa yang harus didorong negara, dalam hal ini eksekutif, legislatif, yudikatif itu harus melakukan apa...," kata Magdalena.
Dia juga menjelaskan kasus perkosaan di lingkungan kerja kerap terjadi karena adanya hubungan relasi kuasa, seperti antara atasan dengan bawahannya. Oleh karena itu, untuk mencegah ini terulang , dia mendorong semua institusi untuk memiliki mekanisme pengaduan. Agar nantinya, ketika pegawai atau staf mengalami kejadian tidak menyenangkan, mereka tahu harus mengadu pada lembaga mana dan mendapat perlindungan. [gi/uh]