Seiring dengan itu, status perkawinan kelompok pemuda yang belum menikah kini dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah. Apa kata pakar dan anak muda sendiri mengenai hal ini?
“... Bukan menjadi salah satu fokus atau pencapaian secara personal bahwa dalam usia segini aku harus sudah menikah.”
Anindya Amanda mengemukakan itu ketika ditanya mengapa pada usianya yang ke-29 ia belum menikah.
Your browser doesn’t support HTML5
Amanda tampaknya bagian dari 68,29 persen kelompok pemuda yang belum menikah berdasarkan data tahun 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis awal Maret lalu.
Menurut laporan BPS, ini peningkatan dari angka sekitar 54 persen pada tahun 2014, dan peningkatan tersebut berlangsung konsisten dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan UU Kepemudaan, kelompok pemuda adalah mereka yang berusia antara 16 dan 30 tahun.
Merry Sri Widyarti Kusumaryani, peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengatakan pergeseran aspek sosial ekonomi dalam masyarakat merupakan faktor yang paling mempengaruhi usia perkawinan pertama. Katanya,
“Tingkat ekonomi kita membaik, sekarang sudah masuk kelas menengah, bukan kelas bawah. Seiring dengan itu, berbagai fasilitas semakin tersedia. Sekolah misalnya, sekarang sudah jauh lebih banyak dibandingkan dengan dulu.”
Kesempatan kerja yang sekarang jauh lebih terbuka di Indonesia, termasuk untuk kaum perempuan, membuat kaum muda tidak ingin cepat-cepat menikah, lanjutnya.
Diva Devina, 24 tahun, bekerja di bidang kehumasan (public relations). Ia memaklumi tren penurunan angka pernikahan yang terungkap dari laporan BPS. Dari keterpaparan generasi muda yang besar dengan media sosial dan internet, situasi dalam kehidupan perkawinan dari influencer, orang-orang yang dikenal, atau para artis, memang menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran. Berdasarkan apa yang dilihat di Internet atau media sosial, lanjut Diva, ternyata pernikahan itu tidak sebaik ekspektasi mereka.
Dan, berbeda dengan generasi orang tua Diva yang begitu lulus kuliah, sudah bekerja dan langsung menikah, generasi muda termasuk kaum milenial dan generasi Z, punya pilihan selain itu. kata Diva.
Contohnya, “Meningkatkan potensi diri, membuka bisnis, belajar di luar negeri, traveling ke luar negeri, fokus ke hobi seperti dalam bidang olah raga, seni, atau kreativitas.”
Dosen Sosiologi di Universitas Brawijaya, Malang, Siti Kholifah, membenarkan tentang karakteristik generasi muda yang cara berpikirnya jauh lebih terbuka dan memiliki banyak informasi. Tak jarang mereka yang berpendidikan S1, misalnya, ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi, lanjutnya.
“Di kelas saya selalu bilang, persaingan di dunia kerja untuk kalian bukan hanya dengan orang Indonesia, tapi kalian harus bersaing di tingkat global, karena itu sudah menjadi masa kalian, saya sering menekankan itu juga.”
Sebagai pengajar kajian gender, ia mendapati tidak ada jawaban yang berbeda dari mahasiswa lelaki dan perempuan mengenai kapan mereka akan menikah. Setelah lulus, hidup mapan dengan penghasilan dan pekerjaan yang bagus, itulah saat yang tepat untuk menikah, kata mereka meniru permintaan orang tua.
Jadi, orang tua turut berperan terkait kecenderungan mengenai status pernikahan generasi muda Indonesia. Siti Kholifah menjelaskan, “Pola asuh orang tua mulai bergeser, terutama pada kalangan menengah dengan pendidikan menengah atas. Mungkin mereka menuntut anak laki-laki maupun perempuan harus mapan secara ekonomi (baru menikah). Kalau dulu anak perempuan, selesai sekolah sudahlah menikah, tidak ada tuntutan lainnya.”
Amanda termasuk generasi muda yang akhirnya go international seperti yang digambarkan Siti Kholifah. Alumnus jurusan Hubungan Internasional di Universitas Parahyangan ini langsung bekerja di sebuah LSM regional yang berbasis di Jakarta. Baru dua tahun terakhir ini ia bekerja sebagai Manajer Proyek Regional untuk sebuah LSM yang berbasis di Myanmar.
Mengenai pandangan orang tua terhadapnya yang belum menikah juga pada usia sekarang ini, ia mengemukakan, “Aku sangat bersyukur orang tuaku tidak pernah mendesak, terutama belakangan ini. Mungkin dulu pernah sih, tapi tidak pernah nge-push juga. Cuma mereka seperti berharap, aku bisa bertemu dengan pasangan yang bisa yang baik untukku, karena mereka juga mungkin sudah percaya aku bisa independen, bisa hidup sendiri, bisa survive sendiri, tidak tergantung orang lain. Itu juga jadi poin penting yang membuat orang tuaku tidak khawatir.”
Secara demografi, tren penurunan selama setidaknya lima tahun ini masih sejalan dengan kebijakan dan program pemerintah Indonesia untuk meningkatkan usia kawin pertama, kata Merry. Semakin tinggi usia tersebut, masa reproduksi menjadi lebih pendek dan jumlah anak yang dilahirkan kemungkinan lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menikah pada usia muda. Secara kesehatan, ini akan diiringi penurunan angka kematian ibu dan bayi. Ia menambahkan, “Kalau dari awalnya baik, kualitas SDM-nya akan baik juga ke depannya.”
BACA JUGA: Pendidikan Seks di Tengah Problem Kesehatan ReproduksiAmanda mengakui sekarang ini tidak banyak teman-teman sebayanya yang sepemikiran: tidak memiliki target untuk menikah atau tidak terlalu fokus dalam mengejar target untuk menikah. Ia, katanya lagi, “Tidak juga mematokkan diri bahwa misalnya aku tidak akan menikah sebelum mencapai sesuatu.”
Sekarang ini ia lebih menitikberatkan aktivitasnya untuk mengembangkan potensi diri dan membuat nyaman dengan diri sendiri.
Sementara itu, sebagai lajang, Diva masih mempertanyakan kesiapan dirinya untuk melangkah ke pernikahan, suatu perubahan besar dalam hidup. Namun ia mengaku tidak terpengaruh oleh tren menunda pernikahan. Ia masih ingin menikah segera, dengan catatan,
“Kalau menemukan orang yang tepat, saya rasa cocok untuk menikah, sejalan dengan visi dan situasi hidup saya, dengan senang hati saya ingin menikah,” pungkasnya. [uh/ab]