Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang waktu Indonesia Tengah ketika para tukang bangunan dengan penuh semangat mengerjakan pemasangan anyaman kawat pada dinding salah satu bangunan di desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada Senin, 2 Desember 2019. Ini merupakan bagian dari pelatihan tukang "Membangun Rumah Tembokan Tahan Gempa Dibalut Dengan Lapisan Ferosemen".
Pelatihan yang melibatkan 107 tukang bangunan dan 10 orang ibu rumah tangga tersebut berlangsung selama tiga hari sampai 4 Desember 2019. Kegiatan itu diprakarsai oleh Adventist Development and Relief Agency (ADRA) Indonesia bekerjasama dengan Kerk in Actie, HELP Internasional dan Czech Republic Humanitarian Aid, badan kemanusiaan Republik Ceko.
Menurut Fatludin, yang sudah sepuluh tahun menjadi tukang bangunan, model pembuatan bangunan rumah tembok dengan lapisan ferosemen adalah sesuatu yang sangat baru, di mana kekuatan dinding bangunan tidak menggunakan tiang besi, tapi justru menggunakan anyaman kawat ayam (wiremesh) yang rapat. Fatludin semula sempat ragu, tapi video demonstrasi kekuatan bangunan dalam simulasi guncangan gempa kuat, memperlihatkan struktur bangunan rumah beton dengan ferosemen bisa bertahan dibandingkan jenis bangunan lainnya yang tanpa ferosemen dan langsung roboh.
“Ini bagus untuk pengalaman pekerjaan ini, iya pengalaman pertama untuk teknik ini,” kata Fatludin.
Dengan mengikuti kegiatan pelatihan selama tiga hari itu, para tukang bangunan seperti dirinya diharap bisa aktif memberikan pendidikan kepada masyarakat yang hendak membangun kembali rumah mereka pascabencana, agar rumah yang akan dibangun itu jauh lebih tahan gempa.
Informasi di Pusat Data dan Informasi Bencana (PUSDATINA) Sulawesi Tengah per September 2019 menunjukkan gempa bumi pada 28 September 2018 di Kabupaten Sigi menyebabkan kerusakan pada 28.152 unit rumah masyarakat, termasuk 8.342 unit yang rusak berat.
Pakar Gempa Teddy Boen: Rumah Ferosemen Jadi Teknologi Pembangunan Rumah Tahan Gempa
Teddy Boen, ahli gempa yang menjadi pemateri latihan itu mengatakan ferosemen adalah teknik memperkuat dinding bangunan dengan cara menambahkan anyaman kawat ayam atau kini dikenal sebagai kawat besi dengan ketebalan lebih dari satu milimeter. Anyaman kawat yang rapat itu di letakkan pada jarak satu centimeter dari dinding bangunan. Agar tidak bergeser anyaman itu diikat menggunakan kawat pengikat pada paku payung yang ditancapkan di dinding bangunan yang terbuat dari susunan bata ringan maupun batako.
Anyaman kawat itu nantinya akan tertutup setelah dinding diplester menggunakan adukan semen dengan ketebalan dua sentimeter. Cara ini ditemukan pertama kali oleh seorang ahli Perancis pada tahun 1448 yang saat itu digunakan untuk membuat kapal dari beton. Selama ini ferosemen telah menjadi teknologi konstruksi alternatif dalam pembangunan irigasi dan pasokan air lain.
“Jadi ferosemen itu intinya ada adukan di tengahnya di kasih kawat, kasih adukan lagi. Jadi ada kawatnya di tengah-tengah adukan,” jelas Teddy Boen.
Ferosemen, oleh Teddy Boen, dianalogikan seperti roti sandwich yang memiliki lapisan tengah serta lapisan luar pada masing-masing sisinya. Model roti sandwich ini diterapkan pada lapisan kardus untuk minuman mineral, hingga ke model sayap dan dinding pesawat terbang.
Kelebihan lainnya, model bangunan rumah itu dapat dibuat tanpa tiang besi, sehingga bisa menghemat anggaran pembangunan rumah hingga 50 persen.
Your browser doesn’t support HTML5
Teddy Boen menekankan bahwa pembangunan rumah tahan gempa harus difokuskan pada penguatan dinding bangunan. Dalam situasi gempa bumi, penyebab jatuhnya korban luka maupun meninggal dunia adalah akibat robohnya dinding bangunan, apalagi bila gempa itu terjadi pada malam hari disaat warga umumnya sedang berada di rumah. Model penguatan dinding dengan ferosemen juga dapat dilakukan pada bangunan-bangunan rumah yang saat ini masih bertahan. Bila anggaran terbatas atau belum mencukupi penguatan dinding dapat dilakukan pada dinding kamar tidur.
“Paling bahaya itu kalau gempa buminya malam, sedang tidur, jadi kamar tidurnya saja tuh yang diperkuat satu ruangan dulu, punya uang baru ruang berikutnya, jadi bisa bertahap, jadi nggak usah seluruhnya,” tambahnya.
Teddy Boen, menurut UGM Press, adalah insinyur Indonesia pertama yang dikirim pemerintah Indonesia untuk secara khusus mempelajari gempa bumi di Jepang pada tahun 1962. Sekembali dari Jepang, Teddy Boen menekuni rekayasa kegempaan, baik untuk bangunan tinggi maupun bangunan nir-rekayasa (bangunan konvensional yang tidak dibangun dengan teknik tertentu.red) di Indonesia termasuk memperkenalkan cara memperkuat bangunan yang rusak akibat gempa dan memberikan kuliah rekayasa gempa di berbagai universitas.
Libatkan Kaum Ibu Sebagai Pengawas
Pelatihan pembangunan rumah tahan gempa pada 100 tukang bangunan di Sigi itu juga melibatkan kaum perempuan yaitu ibu rumah tangga. Project Manager ADRA Indonesia Samzon Purba mengatakan para ibu sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa rumah yang dibangun jauh lebih aman, khususnya dari ancaman guncangan gempa bumi. Lewat pelatihan itu para ibu juga akan memiliki pengetahuan sehingga bisa terlibat mengawasi pembangunan rumah mereka di masa mendatang.
“Sudah kita dengar juga cerita-cerita di masyarakat, itu gempa yang duluan lari bapak-bapaknya, ibu-ibunya yang sudah lari kembali lagi jemput anak-anaknya. Nah, di sinilah kita undang ibu-ibu yang mau kita bangun rumahnya, agar dia bisa mensupervisi rumahnya,” jelas Samzon Purba.
Oleh ADRA Indonesia, para tukang yang terlibat dalam pelatihan itu nantinya akan dilibatkan dalam kegiatan pembangunan 22 unit hunian tetap di desa Rogo,serta penguatan struktur bangunan pada 53 unit rumah lainnya yang berada di sejumlah desa di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. [yl/em]