Budi Waryanto, pelaksana tugas Direktur Ketersediaan Pangan, Badan Pangan Nasional, mengatakan pemerintah telah menyiapkan sejumlah lahan di luar Jawa sebagai kawasan penyangga produksi pangan nasional untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan pangan di tengah krisis iklim.
“Nanti akan ada kawasan-kawasan yang potensial untuk menjadi penyangga produksi nasional kita. Tentunya ada di Kalimantan. Seingat saya ada ya yang sedang dirancang untuk 2025, kawasan ada di Sumatra, ada juga di Kalimantan sedikit, Sulawesi, bahkan di Papua,” kata Budi dalam diskusi bertema “Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim,” Selasa (5/3).
Budi tidak menyebutkan lebih detail mengenai luasan kawasan penyangga produksi pangan dan jenis tanaman pangan yang akan dikembangkan. Namun, kawasan itu akan ditanami dengan tanaman pangan sesuai dengan kebutuhan nasional.
Budi memaparkan hal itu untuk menanggapi pertanyaan seputar lonjakan harga-harga pangan di sebagian besar wilayah di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Kenaikan harga pangan itu memantik kekhawatiran masyarakat akan ketersediaan pasokan bahan pangan, meski pemerintah sudah menegaskan pasokannya mencukupi.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) dalam beberapa bulan terakhir harga-harga bahan pokok, terutama beras, cabai merah, dan bawang putih, mengalami kenaikan signfikan.
Harga rata-rata bulanan beras kualitas bawah I di pasar tradisional di semua provinsi, misalnya, naik lebih dari 9 persen dari Rp14.550 per kilogram pada Januari menjadi Rp15.900/kg pada awal Maret. Harga cabai merah juga melonjak lebih dari 15 persen dari Rp61.450/kg pada Januari menjadi Rp71.100/kg.
Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa kenaikan sejumlah bahan pokok tersebut salah satunya dipicu oleh faktor perubahan iklim. Iklim yang tidak menentu yang diperparah dengan fenomena El Nino, mempengaruhi pola tanam dan hasil panen komoditas pertanian.
Selain perubahan iklim, menurut Edvin Aldrian, Guru Besar Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nsional (BRIN), ketegangan geopolitik juga turut berperan menaikkan harga pangan. Terutama bahan pangan yang harus diimpor, seperti gandum yang menjadi bahan membuat roti, mi dan lain-lain.
Your browser doesn’t support HTML5
“Secara komprehensif, iklim iya, tapi hal lain yang kita amati adalah ketidakstabilan geopolitik. Ini ternyata kita sudah amati, Ukraina, misalnya yang sebagai sumber impor gandum kita karena kita tidak bisa menanam gandum, itu terganggu," katanya.
Pengetahuan Iklim untuk Petani
Supari, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan para petani harus dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai iklim ekstrem agar bisa mengantisipasi dampaknya di masa depan. Sebabnya, iklim ekstrem akan selalu berulang setiap tahunnya sehingga perlu informasi untuk mengurangi risiko.
BACA JUGA: Krisis Beras di Negeri Penikmat Nasi“Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah terus meningkatkan pemahaman masyarakat, memberikan literasi iklim bagi para petani. Sebagian besar petani sekarang adalah petani yang generasi muda sehingga sangat melek teknologi informasi, dan itu peluang untuk memberikan pemahaman,” tutur Supari.
Angga Dwiartama, dosen dan peneliti pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), sependapat bahwa perlu adanya teknologi tepat guna untuk menyiasati dampak iklim di sektor pertanian pangan. Namun, Angga mengingatkan agar penerapan teknologi di sektor pertanian ini dapat diakses oleh semua kalangan petani, khususnya petani gurem.
“Sebenarnya teknologi itu sudah available (tersedia-red). Pertanyaannya adalah seberapa memungkinkan petani menggunakan teknologi-teknologi itu. Kalau misalnya kita bicara petani besar, akses terhadap teknologi mekanisasi itu relatif lebih mudah. Tapi kan tadi kalau saya beri catatan sebagian besar petani padi di Indonesia adalah petani kecil yang memang sulit untuk bisa mengakses teknologi-teknologi yang mahal atau advance," paparnya.
Inovasi Benih dan Kearifan Lokal
Ketersediaan teknologi pangan yang mumpuni saja tidak cukup untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman pangan.
Edvin Aldrian berpendapat perlu adanya inovasi lain untuk menyiasati dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman pangan. Salah satu yang penting adalah penyediaan benih yang tahan terhadap perubahan cuaca yang disesuaikan dengan kondisi lahan.
“Sudah ada benih unggul yang bisa ditanam di lahan yang banyak airnya, lahan kering, dan juga lahan yang agak asam, tapi kembali bagaimana petani mau menanam atau tidak,” ujar Edvin yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC)
Ahmad Juang Setiawan, peneliti iklim dari Traction Energy Asia, mengatakan pemerintah perlu menggali kembali kearifan lokal di bidang pola tanam, yang pada masa lalu masih banyak digunakan masyarakat.
BACA JUGA: Perang Rusia-Ukraina, Momentum untuk Kurangi Ketergantungan Impor di Sektor PanganUpaya masyarakat lokal yang terbukti mampu bertahan menghadapi perubahan iklim di sejumlah daerah di Indonesia, perlu menjadi pelajatan dan masukan bagi semua pihak untuk tetap bertahan di tengah krisis iklim yang mengancam ketersediaan pangan.
“Menjadi masukan kepada pemerintah maupun daerah lain untuk coba menggali lagi kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-masing daerah tentunya, dan diversifikasi sistem pertanian, bahwa tidak bisa seluruh wilayah itu menggunakan satu sistem yang sama dengan ciri khas masing-masing wilayah, baik curah hujan, kelerengan, dan sebagainya,” tutur Ahmad. [ps/ft]