Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari bangkrutnya ketiga bank di Amerika Serikat tersebut. Satu di antaranya, katanya, perbankan dengan skala kecil ternyata bisa memiliki risiko yang cukup sistemik terhadap sistem perbankan secara keseluruhan. Maka dari itu, menurutnya, pemerintah tidak bisa menganggap enteng peristiwa tersebut.
“Kita tidak bisa mengentengkan, bukan hanya bank umum besar yang kemudian memiliki risiko sistemik, tetapi juga bank yang skalanya lebih kecil bahkan fintech misalnya. Itu yang semua perlu diwaspadai juga oleh BI (Bank Indonesia), OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Karena selama ini pengawasan misalnya di sektor keuangan digital masih relatif lebih longgar. Dan kita tahu banyak masalah yang dialami di sektor keuangan digital, entah fintech, kemudian bank digital masih banyak yang harus disempurnakan dalam hal regulasi dan pengawasan,” ungkap Bhima.
Bhima menjelaskan, model bisnis yang digunakan Silicon Valley Bank (SVB) berfokus terhadap pembiayaan perusahaan rintisan atau startup, atau pembiayaan kepada aset digital. Ini, kata Bhima, perlu diwaspadai oleh pihak regulator. Pasalnya, ada beberapa perbankan di Indonesia yang memiliki anak usaha atau modal ventura yang juga bergerak di aset digital dan mendanai berbagai perusahaan rintisan.
Menurutnya, situasi saat ini secara psikologis berdampak terhadap investor. Banyak investor mulai berasumsi bahwa risiko di sektor keuangan semakin meningkat sehingga mereka mulai menggeser investasi mereka ke sektor yang cencerung aman.
“Jadi perpindahan dari efek psikologis inilah yang kemudian punya dampak terhadap ekonomi Indonesia. Jadi terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa efeknya kecil dari kejadian SVB dan kawan-kawannya terhadap perbankan kita,” katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Lalu kemudian, apakah peristiwa bangkrutnya bank di negara adidaya tersebut bisa juga terjadi di Indonesia? Bhima menjawab, “ya”. Menurutnya, kondisi perekonomian di Amerika Serikat sebenarnya sedang mengalami pemulihan, yang terlihat dari tingkat inflasi yang mulai melandai dan tingkat pengangguran yang turun.
Namun, masih saja ada bank yang gagal memenuhi kewajibannya? Maka dari itu, menurutnya pemerintah jangan terlalu percaya diri mengingat ekonomi Indonesia juga belum pulih 100 persen dari pandemi.
Pemerintah, katanya, perlu meningkatkan pengawasan kecukupan modal perbankan, dan hubungan antara perbankan dan sektor digital.
“Kita memang ingin startup terus tumbuh, tapi juga tidak boleh sembarangan mendanai startup, tergantung dari startup-nya apakah masih merugi, apakah sudah profit. Jadi banyak pertimbangan dari sisi pendanaan sehingga risiko itu bisa dimitigasi dengan baik, tidak menular kepada simpanan dan terakhir adalah memastikan bahwa kondisi di Amerika karena sebagian besar simpanan di SVB misalnya tidak dijamin oleh lembaga penjamin simpanan (LPS), ini juga perlu kita awasi bagaimana misalnya bank-bank yang menawarkan bunga yang relatif tinggi misalnya dan tidak dilindungi oleh LPS, itu juga perlu dilakukan teguran dan sanksi oleh OJK sehingga benar-benar dana simpanan deposan dilindungi,” jelasnya.
Selain pengawasan, kata Bhima, pelajaran penting lainnya yang bisa diambil dari peristiwa tersebut adalah BI tidak boleh terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga. Menurutnya, salah satu penyebab dari bangkrutnya ketiga bank tersebut adalah kenaikan tingkat suku bunga acuan. “Maka suku bunga acuan ya kalau perlu ada kenaikan, ya kenaikannya relatif moderat, sehingga tidak memukul sektor keuangan,” tuturnya.
BI: Perbankan Indonesia Tetap Terjaga
Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan bahwa kondisi perbankan di tanah air terjaga dengan baik meski tiga bank di Amerika bangkrut.
“Secara keseluruhan stressing assestment kami menyimpulkan bahwa kondisi perbankan di Indoensia itu berdaya tahan terhadap dampak ini, dan terus terang kita selalu melakukan pemantauan. Hasil simulasi stress kita, menyimpulkan itu. Stablitas sistem keuangan di Indonesia adalah berdaya tahan dalam menghadapi gejolak global ini termasuk dampak dari tiga bank ini,” kata Perry.
Berdasarkan hasil stressing assestment, yang dilakukan oleh BI, Perry menyimpulkan, deposit funding perbankan Indonesia terdiversifikasi. Menurutnya, hal ini berbeda dengan SVB yang 93 persen terkonsentrasi di deposan besar. Selain itu, katanya, tidak ada perbankan di Indonesia yang memiliki obligasi Amerika Serikat sehingga dampak langsungnya dari peristiwa ini hampir tidak ada.
Lebih jauh, Perry menjelaskan Surat Berharga Negara (SBN) di Indonesia memiliki manajemen risiko yang baik, di mana mulai tahun lalu ada pergeseran dari available-for-sale (AVS) ke hold to maturity (HTM). Sementara itu, dari sisi risiko valuasi, juga sudah terdapat cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Selain itu, katanya, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan di Indonesia juga cukup tinggi, yakni 25,88 persen.
“Tapi apakah kita nggak waspada? Ya waspada. Waspadanya apa? Dampak dari ekspektasi. persepsi menjadi penting, ini kan muncul persepsi global, dan dampak persepi dan ini kemudian investor global kan persepsinya risiko negatif kembali. Kemudian terjadi suatu outflow di Maret, ada tekanan nilai tukar rupiah, dan juga persepsi lain yang muncul. Nah persepsi ini yang harus kita kelola. Caranya? Menstabilkan nilai tukar rupiah, kita intervensi, nilai tukarnya kita stabilkan untuk memastikan bahwa ini persepsi baik,” pungkasnya. [gi/ab]